Oleh : Mhd Redo

ARTIKEL (HALUANPOS.COM)- Bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga cermin identitas suatu bangsa. Di tengah kekayaan bahasa dan budaya Nusantara, bahasa Melayu dan aksara Jawi pernah memainkan peran sentral dalam membentuk identitas kebahasaan wilayah ini. Sayangnya, peran penting keduanya mulai terlupakan dalam narasi sejarah modern Indonesia.

Bahasa Melayu: Bahasa Persatuan Sebelum Indonesia Merdeka
Sebelum Indonesia lahir sebagai negara, bahasa Melayu telah lebih dahulu menjadi bahasa penghubung lintas suku, agama, dan wilayah. Sejak abad ke-7 M, bahasa ini digunakan dalam konteks perdagangan, dakwah Islam, dan pemerintahan di wilayah pesisir Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Melayu, hingga ke bagian timur Nusantara.

Mahsun dalam bukunya Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi (2012) menjelaskan bahwa bahasa Melayu memiliki karakter terbuka dan adaptif, sehingga mudah diterima oleh berbagai kelompok etnis. Inilah yang kemudian menjadikannya sebagai dasar bagi bahasa Indonesia, yang secara resmi dipilih sebagai bahasa nasional pada Sumpah Pemuda tahun 1928.

MENARIK DIBACA:  Belajar menjadi Guru Biologi yang Interaktif

Bahasa Melayu bukan hanya fondasi linguistik bagi Indonesia, tetapi juga fondasi kultural dan historis yang menyatukan keberagaman Nusantara.
Tulisan Jawi: Aksara Keilmuan dan Keislaman Melayu
Selama berabad-abad, bahasa Melayu tidak ditulis dalam huruf Latin seperti sekarang, melainkan dalam aksara Jawi—yaitu huruf Arab yang dimodifikasi untuk menyesuaikan bunyi-bunyi lokal. Tulisan ini bukan hanya sarana tulis-menulis, melainkan medium transmisi ilmu, sastra, hukum, dan nilai-nilai Islam.

Dalam The Malay Civilization (2000), Asmah Haji Omar menyebutkan bahwa aksara Jawi menjadi pilar keberaksaraan dunia Melayu. Banyak karya besar seperti Hikayat Hang Tuah, Tuhfat al-Nafis, serta naskah-naskah fiqih dan tata negara ditulis dalam aksara ini. Bahkan surat-surat diplomatik dari raja-raja Melayu kepada penguasa asing juga menggunakan Jawi.
Aksara Jawi merepresentasikan tradisi literasi yang kaya dan menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara memiliki sistem pengetahuan dan dokumentasi sebelum kolonialisme datang.
Pengaruh Kolonial dan Pergeseran ke Aksara Latin.

MENARIK DIBACA:  International Education Expo ICAN Kembali Hadir, Catat Tanggalnya sekarang

Masuknya Belanda ke wilayah Nusantara membawa pengaruh besar dalam sistem pendidikan dan administrasi. Melalui kebijakan-kebijakan kolonial, huruf Latin diperkenalkan dan perlahan menggantikan aksara Jawi, terutama sejak diberlakukannya Ejaan Van Ophuijsen pada tahun 1901.
Harun Aminurrashid dalam Sejarah Bahasa Melayu (1988) menyatakan bahwa penggunaan huruf Latin semakin menguat seiring perkembangan sistem sekolah Belanda dan media cetak yang mendukung penyebaran ejaan Latin.
Walaupun perubahan ini dianggap sebagai bagian dari modernisasi, ia juga menjadi titik balik yang menyebabkan aksara Jawi terpinggirkan dan akhirnya nyaris hilang dari ruang publik Indonesia.

Menggali Kembali Identitas Kebahasaan Nusantara.
Tulisan Jawi dan bahasa Melayu klasik adalah bagian integral dari sejarah intelektual dan kebudayaan bangsa. Menurut A. Teeuw dalam Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1994), mengabaikan sejarah aksara dan bahasa berarti kehilangan jejak pemikiran dan peradaban lokal yang telah lama tumbuh di tanah air ini.
Kini, tulisan Jawi hanya digunakan secara terbatas di wilayah tertentu seperti Aceh, Riau, dan sebagian pesantren. Di luar itu, keberadaannya hampir tidak dikenal oleh generasi muda. Padahal, menghidupkan kembali pengetahuan tentang Jawi tidak hanya memperkaya wawasan sejarah, tapi juga membangun kebanggaan terhadap warisan budaya Nusantara.

MENARIK DIBACA:  Rekomendasi Running Shoes Terbaik di Indonesia Saat ini

Penutup: Warisan yang Harus Dirawat
Bahasa Melayu dan tulisan Jawi bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan bagian dari identitas kebahasaan Nusantara. Memahami sejarah keduanya akan membuat kita lebih sadar bahwa bahasa Indonesia yang kita pakai hari ini berdiri di atas fondasi kebudayaan yang sangat dalam dan kaya.
Sudah waktunya untuk mengangkat kembali warisan ini—bukan untuk menggantikan yang ada, tetapi untuk melengkapi narasi kebangsaan yang lebih utuh.***

Penulis : Mhd Redo (2024010126)
Mahasiswa ISNJ Bengkalis, Jurusan Akuntasi Syariah

By admin