Penulis : ARMELYA ARMYK,SH

ARTIKEL (HALUANPOS.COM)-Budaya Positif di SMA Ruang Aman untuk Tumbuh, Bukan Sekadar Tertib

Akhir-akhir ini, istilah budaya positif mulai sering muncul dalam diskusi pendidikan, termasuk di tingkat SMA. Banyak sekolah mulai menyusun kode etik, memasang poster inspiratif, atau menekankan pentingnya sikap tertib dan sopan. Niatnya tentu baik—menciptakan suasana sekolah yang kondusif dan mendidik karakter. Tapi sebagai guru, saya merasa ini belum cukup. Budaya positif bukan sekadar soal keteraturan; ia tentang bagaimana sekolah menjadi ruang aman bagi remaja untuk tumbuh sebagai manusia seutuhnya.

Remaja di SMA sedang berada di titik krusial dalam hidupnya—mereka sedang mencari identitas, membangun relasi sosial, dan belajar memahami emosi yang kadang membingungkan. Dalam kondisi ini, mereka membutuhkan lebih dari sekadar aturan. Mereka butuh lingkungan yang membuat mereka merasa diterima, bukan dihakimi. Didampingi, bukan dikendalikan.

MENARIK DIBACA:  Menyambut Kedatangan Bulan Suci Ramadhan 1444H, dan Memahami Peristiwa didalamnya

Saya teringat satu pengalaman saat mendampingi seorang siswa kelas XI yang kerap dianggap “anak pembangkang”. Ia sering menunda tugas, tidak fokus di kelas, dan tampak tidak peduli. Tapi ketika saya ajak bicara secara personal, terungkap bahwa ia sedang mengalami tekanan hebat di rumah, ditambah perasaan gagal karena terus-menerus dibandingkan dengan kakaknya. Dalam kasus seperti ini, hukuman tidak menyelesaikan apa-apa. Yang ia butuhkan adalah ruang untuk merasa dimengerti.

Inilah yang sering luput dalam pembangunan budaya sekolah: kita terlalu cepat menegakkan aturan, tapi lambat membangun relasi. Kita berharap siswa langsung paham batasan, padahal mereka baru belajar mengenali diri. Budaya positif seharusnya bukan soal menjadikan sekolah bebas masalah, melainkan menjadikannya tempat di mana siswa merasa cukup aman untuk mengakui kesalahannya dan belajar dari sana.

MENARIK DIBACA:  Kemerdekaan dan Tanggung Jawab Generasi Muda

Budaya sekolah terbentuk dari hal-hal yang tampak kecil: bagaimana guru menyapa siswa di pagi hari, bagaimana kelas merespons kegagalan, bagaimana siswa dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut mereka. Ketika siswa merasa dihargai, mereka lebih mungkin menunjukkan tanggung jawab. Ketika mereka diberi ruang untuk bertanya dan berbeda pendapat tanpa takut disalahkan, mereka tumbuh sebagai pembelajar yang berani.

Data dari OECD (2019) menunjukkan bahwa iklim sekolah yang suportif berkorelasi kuat dengan keterlibatan belajar dan kesejahteraan mental siswa. Sementara itu, pendekatan yang hanya menekankan disiplin tanpa dukungan emosional justru meningkatkan stres dan resistensi.

Maka, jika kita ingin membangun budaya positif di SMA, mari mulai dengan membangun relasi yang sehat, memperkuat komunikasi antarguru dan siswa, serta menciptakan kebijakan yang memanusiakan, bukan menekan. Sekolah tidak cukup menjadi tempat belajar—ia harus menjadi ruang hidup yang aman untuk gagal, berkembang, dan menjadi diri sendiri.

MENARIK DIBACA:  Manfaat Air Nabeez Bagi Kesehatan

Budaya positif bukan hasil dari satu peraturan besar, melainkan kumpulan tindakan kecil yang penuh empati. Dan itu, saya percaya, jauh lebih berdampak bagi masa depan anak-anak kita.

Referensi
Membangun Generasi Berkarakter melalui Pendidikan Berbasis Budaya Positif: Sebuah Tinjauan Loso Judijanto PESHUM : Jurnal Pendidikan, Sosial dan Humaniora·
2025

Implementasi Keyakinan Kelas dalam Rangka Mewujudkan Budaya Positif: Kedisiplinan dan Karakter Siswa SMAMeyke Paulus, B. K, S. P. Taneo, Marsel B. Robot, Y. Manafe
EDUKATIF : JURNAL ILMU PENDIDIKAN·
2024·

* ARMELYA ARMYK,SH Adalah, Mahasiswa Magister Padagogi Universitas Lancang Kuning tugas Psikologi Pendidikan

By admin