Pekanbaru(Haluanpos.com)-
Menyikapi problematika penertiban perambahan hutan antara lain di kawasan TNTN yang dilakukan oleh Satgas PKH, FKPMR menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
Provinsi Riau dikaruniai kekayaan sumber daya alam melimpah, antara lain berupa migas, kehutanan, dan perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan tumbuhnya industri perminyakan, industri kehutanan dan industri perkebunan. Perkembangan industri ini tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian daerah secara makro, tetapi juga memberi kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Namun Riau justru menghadapi fenomena Resource curse (kutukan sumber daya alam). Kekayaan sumber daya alam (seperti minyak, gas, kehutanan dan perkebunan) tersebut justru menimbulkan banyak masalah seperti ketidakadilan, ketimpangan, konflik dan juga korupsi.
FKPMR melihat masalah perambahan hutan secara ilegal di Riau dan daerah lainnya, apatah lagi di kawasan hutan lindung adalah kesalahan berjamaah. Tak hanya oleh para cukong pemodal yang tidak mematuhi hukum yang dengan sengaja memanfaatkan celah lemahnya kondisi perekonomian masyarakat, namun juga bagian dari kelalaian Pemerintah pusat dalam menjalankan kewenangan dan tanggung jawabnya dalam pengawasan dan penataan. Dalam penyelesaian masalah selalu masyarakat yang menjadi korban dan merasakan dampaknya. Kini bahkan di lapangan kita yang menghadapi potensi benturan masyarakat perambah pendatang vs masyarakat tempatan. Perambahan kawasan hutan lindung secara ilegal di wilayah Riau antara lain terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Hutan Rakyat Sultan Syarif Kasim, dan Taman Nasional (Hutan Lindung) Zamrud serta Cagar Biosfer Giam Siak.
Salah satu masalah yang sekarang menyita perhatian adalah pengelolaan kawasan TNTN. Dewasa ini Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) umumnya telah hancur setelah belasan tahun disulap oleh cukong dan atau oknum menjadi perkebunan kelapa sawit ilegal. Padahal TNTN juga diakui sebagai paru-paru dunia. TNTN dikelola oleh pemerintah pusat, namun karena TNTN berada dalam wilayah Provinsi Riau, maka Provinsi Riau tak lepas dari masalah yang muncul, utamanya masalah perambahan kawasan TNTN tersebut.
Kompleksitas perambahan di TNTN ini perlu dicermati secara sungguh-sungguh. Sebab sebagian dari masyarakat tempatan sudah berada di kawasan TNTN tersebut sebelum penetapan TNTN. Mereka ini tentu tidak bisa dianggap sebagai perambah karena mereka lebih dulu ada di kawasan Teso Nilo sebelum Teso Nilo ditetapkan sebagai Taman Nasional. Dan ini sebenarnya menjadi tanggung jawab pengelola TNTN saat awal penetapan dan penataan TNTN. Informasi dan data yang akurat dari para pihak terkait penguasaan kawasan hutan sebelum dan sesudah penetapan status TNTN harus dipilah dengan cermat. Penguasaan kawasan pasca penetapan status TNTN pada kawasan tersebut patut diduga kuat sebagai bentuk perambahan. Kamis 19 Juni 2025.
FKPMR mendukung sepenuhnya langkah tegas SATGAS PKH untuk melakukan penertiban TNTN dari perambah dengan cara merelokasi mereka, yang merupakan implementasi dari Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, langkah nyata dan penegakan hukum yang tegas (law enforcement) dari satgas ini sangat diperlukan agar tidak menjadi preseden buruk bagi Riau ke depannya, di samping juga untuk memberikan efek jera bagi cukong-cukong dan korporasi-korporasi maupun masyarakat yang selalu melakukan perambahan hutan secara liar.
FKPMR mendesak Satgas PKH dan aparat penegak hukum untuk tidak tebang pilih dalam melakukan penertiban dan melaksanakan Perpres No.5 Tahun 2025. Hal ini akan melukai hati masyarakat yang selama ini patuh dan taat terhadap aturan. Perambah yang difasilitasi atau dilindungi oleh oknum, cepat atau lambat akan diketahui masyarakat dan ini akan memicu kecemburuan dan menimbulkan konflik.
FKPMR meminta Satgas PKH bersinergi dan berkolaborasi dengan aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan untuk menelusuri oknum dan atau korporasi yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam perambahan kawasan TNTN dan selanjutnya melakukan/memberikan tindakan hukum yang tegas. Pemerintah dalam hal ini Satgas PKH tidak boleh kalah dengan tekanan politik. Tugas PKH ini menyangkut kewibawaan bangsa dan negara juga menyangkut marwah rakyat Riau. Sebab banyak rakyat Riau yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang tidak punya kebun, hanya bekerja sebagai pendodos/buruh kebun.
Sekaranglah saatnya semua unsur kekuatan masyarakat Riau harus bersikap, bersuara untuk Marwah Riau yang digulung perambah dimana-mana. Bila perambah ini diberi kemudahan, ini akan menjadi preseden buruk bagi Riau karena banyak sekali kawasan yang sudah dirambah.
FKPMR mengajak semua pihak untuk menghormati penertiban dan mengawal semua proses hukum dan mengajak semua pihak membantu menjaga kondusivitas di tengah masyarakat. Jangan sampai niat baik PKH atas nama pemerintah melakukan penertiban dengan pendekatan penegakan hukum malah memicu konflik SARA di Riau. Kita semua harus memahami penertiban ini bukan persoalan pendatang atau tempatan, namun penegakan hukum terhadap siapa pun yang melanggar aturan atau hukum. FKPMR mengutuk keras pihak-pihak yang sengaja membentur-benturkan kepentingan pendatang dan tempatan. Jangan sampai terprovokasi sehingga melebarkan persoalan. Mari kita selesaikan persoalan ibarat menarik rambut dalam tepung, rambut tak putus dan tepung tak beserak.