Penulis: Masrizal. SE
ARTIKEL (HPC)- Islam adalah agama yang membawa keselamatan, sebagai agama yang membawa keselamatan bagi ummatnya tentunya sangat anti-kemiskinan. Zakat merupakan satu bagian dari rukun Islam dan juga salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam dalam mambangun perekonomian umat. Perintah zakat dalam surat At-Taubah: 103, Allah memulainya dengan lafaz خُذۡ (ambillah) yang merupakan bentuk kata perintah (fi’il amr). Menurut Ar-Razi dalam tafsirnya mafatadah al-Ghaib, penyebutan kata perintah ambilah tersebut menunjukkan bahwa pengambilan zakat dari para muzakki bersifat wajib (obligatory).
Adapaun objek dari kata perintah (ambillah) tersebut adalah Rasulullah yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya. Meskipun perintah tersebut ditujukan kepada Rasulullah, namun perintah tersebut juga berlaku kepada seluruh hakim atau penguasa setelah beliau. Konteks perintah kepada Rasulullah dalam hal ini merupakan sebagai kepala negara pemerintahan Islam. Dengan demikian perintah tersebut juga berlaku kepada kepala negara setelahnya. Hal ini juga diterapkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq yang sangat marah bahkan memerangi sebagaian orang Arab yang menolak pembayaran zakat dengan alasan bahwasanya perintah zakat gugur setelah wafaatnya Rasulullah. Secara eksplisit Abu bakar berkata “Demi Allah andaikan mereka menolak untuk memberikan anak kambing yang dulu mereka berikan kepada Rasulullah SAW., niscaya saya akan memerangi mereka atas penolakan tersebut. Dengan asumsi bahwa zakat merupakan ketentuan yang wajib dalam sistem ekonomi (obligatory zakat system), sehingga pelaksanaannya dilakukan melakukan institusi resmi negara yang memiliki ketentuan hukum sehingga pengumpulan, pengelolaan atau pendistribusiannya bisa terarah. Ada dua hikmah penting yang dikemukakan oleh syekh Asy-Sya’rawi dalam pengelolaan zakat oleh pemerintah. Pertama, terhindarnya mustahik dari aib karena menengadahkan tangannya untuk meminta zakat dari muzakki. Dengan adanya pengelolaan zakat dari pemerintah, para mustahik tidak perlu lagi menengadahkan tangannya untuk meminta zakat karena mereka langsung menerimanya dari pemerintah. Kedua, terhindarnya mustahik terutama orang fakir dan miskin dari dampak psikologis negatif yang terjadi ketika menerima langsung dari muzakki. Selain itu pengelolan zakat oleh pemerintah juga akan menghilangkan rasa sombong dan ujub dari hari muzakki. Ketika seorang muzakki membayar zakat yang merupakan obligatory, dia tidak akan merasa bahwa dirinya lebih hebat dangan zakatnya karena zakat tidak lain adalah hak orang lain yang dititipkan kepadanya. Ketika dia tidak mengeluarkan kewajiban tersebut pemerintah berhak mengambilnya secara paksa.
Hal ini ditegaskan dalam surat Adz-Dzariyaat: 19 “dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang misikin yang meminta dan orang misikin yang tidak mendapat bagian”. Ketika zakat menjadi sebuah obligatory yang ditarik dan dikelola oleh pemerintah, muzakki tidak akan mengetahui kemana zakat tersebut disalurkan, sehingga ketika bertemu dengan orang misikin tidak akan merasa bahwa dia berjasa terhadapnya. Berbeda halnya ketika muzakki menyalurkan langsung zakat tersebut akan menimbulkan dampak pisikologi negatif sehingga dia merasa sangat berjasa terhadap mustahik tersebut dan pada akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial.
Dalam hal pendistribusian zakat telah termaktub dalam surat at-Taubah:60 tentang pendistribusian zakat. “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dengan demikian pendistribusi zakat haya terbatas pada golongan yang disebutkan dalam surat at-Taubah. Namun demikian ulama berbeda pendapat menganai pendistribusian zakat kepada delapan asnaf tersebut. Apakah harus didistribusikan secara merata atau tidak. Menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali diperbolehkan mendistribusikan zakat pada satu golongan saja. Bahkan menurut mazhab Hanafi dan Maliki boleh mendistribusikan zakat kepada hanya pada satu orang di antara golongan yang berhak menerima zakat. Dalam hal ini madzhab Maliki menganjurkan untuk mendistribusikan zakat kepada orang yang paling membutuhkan di antara golongan penerima zakat. Namun menurut Ibnu Arabi bahwa ulama sepakat tidak memperbolehkan memberikan seluruh zakat kepda amil (petugas zakat) karna nantinya dapat merusak tujuan utama dari pensyariatan zakat yaitu memenuhi kebutuhan umat Islam. Menurut madzhab Syafi’I yang merupakan mazhab yang mayoritas dianut oleh negara-negra Asia Tenggara termasuk Indonesia zakat wajib dibagikan kepada delapan golongan tersebut secara merata baik berupa zakat fitrah maupun zakat maal. Dengan salah satu argumennya hadist “maka Allah membaginya menjadi delapan bagian”.
Berdasarkan demikian ketika pendistribusian zakat adalah pemerintah maka harus dibagi menjadi delapan bagian. Seperdelapan bagian tersebut diberikan pertama kali kepada amil (petugas zakat) yang fungsinya sebagai jerih payah mereka. Sedangkan sisanya diberikan kepada sisa golongan yang lainnya.
Zakat sebagai instrument pengentas kemiskinan, saat ini dikumpulkan oleh pemerintah dari beberapa negara Muslim. Libya, Malaysia (dikesultanan yang berbeda), Pakistan, Arab Saudi, Sudan, dan Yaman mengumpulkan zakat melalui prakarsa pemerintah. Meskipun Bahrain, Bangladesh, Mesir, Iran, Irak, Yordania, Kuwait, Qatar, Indonesia dan Oman telah membentuk lembaga-lembaga public khusus, pembayaran zakat kepada lembaga pemerintah di negara-negara ini atas dasar sukarela.
Menurut ekonom Monzer Khaf tujuan dari zakat adalah utuk mencapai keadilan social ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin. Penelitian oleh Raimi, Patel dan Adelopo (2014) yang berjudul “Corporate social responsibility, Waqf system and Zakat system as faith-based model for poverty reduction”, World Journal of Entrepreneurship, Management and Sustainable Development, mengidentifikasi angka kemiskinan dua digit di sembilan negara mayoritas Islam, yaitu Pakistan (24%), Afganistan (53%), Indonesia (18%), Iran (18%), Banglades (45%), Sudan (40%), Yaman (45%), Aljazair (23%), Mesir (20%) dan Nigeria (70%). Total jumlah orang yang menderita kemiskinan di negara-negara tersebut di atas 335 juta. Penyebab dari kemiskinan di negara-negara tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah yang tidak efektif menyebabkan peningkatan ketidaksetaraan pendapatan dan harapan warga yang tidak terpenuhi. Semua program yang telah ditempuh oleh pemerintah masih belum dirasakan secara optimal oleh masyarakat. Upaya dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan mampu berhasil tanpa didorong dengan instrument lainnya, salah satu instrument tersebut adalah zakat.
Muahmmad Abu Zahrah mengemukakan bahwa fuqaha sepakat bahwa pada dasarnya zakat itu disyariatkan sebagai bagian dari usaha pemerintah, baik dalam hal pengumpulan, atau pengalokasian dan administrasinya. Ada beberapa alasan mengapa negara perlu campur tangan dalam pengelolaan zakat. Pertama, zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawaan sebagaimana infak, wakaf, dan hibah. Zakat hukumnya wajib, padahal satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu adalah negara lewat perangkat pemerintah. Kedua, potensi zakat yang dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation mengungkapkan jumlah potensi filantropi (kedermawaan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut 5,1 triluin bentuk barang dan 14,2 triliun berbentuk uang. Salah satu temuan yang menarik dari hasil penelitian tersebut adalah 61% zakat fitrah dan 93% zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70%) adalah masjid-masjid.
Badan Amil Zakat pemerintah hanya menapatkan 5% zakat fitrah dan 3% zakat maal, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4% zakat maal. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui depertemen teknis pelaksana. Ketiga, zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Keempat, agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien, dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kelima, memberikan control kepada pengelola zakat. Masuknya dana zakat ke dalam perbendaharaan negara diharapkan akan menyadarkan mereka bahwa di antara uang yang dikorupsi itu terdapat dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi juga.
Dilihat dari sisi makro, zakat memunginkan perekonomian terus berjalan pada tingkat minimum. Menurut Metwally zakat berpengaruh positif tepada ekonomi. Karena dalam ekonomi Islam, semua bentuk asset yang tidak/kurang produktif terkena zakat. Oleh karena itu instrument zakat akan mendorong dalam investasi dan menekan penimbnan uang. Zakat akan mendorong investasi secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung, dengan dikenakannya zakat terhadap kekayaan maka kekayaan yang ditabung akan segera diaktifkan atau diinvestasikan. Secara tidak langsung, dengan meningktakan konsumsi barang-barnag dan jasa-jasa pokok sebagai akibat meingkatnya pendapatan oang-orang fakir-miskin karena zakat maka permintaan terhadap barang dan jasa-jasa pokok akan meningkat. Meningkatnya oermintaan barang dan jasa ini akan merangsang produksi barang-barang dan jasa-jasa tersebut, yang berarti meningkatnya investasi terutama terhadap barang-barang dan jasa-jasa pokok
Dari sisi konsumsi, kelebihan harta golongan mustahik memang punya potensi untuk diterjemahkn manjadi konsumsi jika tidak terkena zakat. Namun, potensi untuk menjadi konsumsi itu lebih besar jika kelebihan harta (berupa zakat) itu ada ditangan golongan mustahik. Karena kelebihan harta ditangan golongan muzakki relatif untuk pembelian barang-barang sekunder atau mewah, sementara jika harta tersebut ditangan golongan mustahik, hampir pasti harta tersebut akan dibelanjakan untuk barang kebutuhan pokok. Jadi jika dilihat dari potensi zakat konsumsi yang akan terjadi kelebihan harta zakat sangat efektif atau potensial sekali berada di tangan mustahik dari pada muzakki. Dengan kata lain golongan yang sangat dominan terdampak zakat adalah golongan mustahik. Di mana angka konsumsi mereka sangat tergantung pada distribusi zakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa zakat akan mempengaruhi konsumsi secara positif.
Mereka yang menerima zakat akan mengeluarkannya kembali dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumsinya, baik yang berupa barang-barang maupun jasa-jasa. Ini biasanya mempercepat arus konsumsi. Dalam masalah perekonomian meningkatnya konsumsi menimbulkan usaha berproduksi.
Dalam pandangan Islam, sebenarnya kemiskinan bermula dari kegagalan kaum muslimin dalam mengelola sumber penghasilan. Islam tidak menyukai kemiskinan dan sangat mendorong umatnya untuk bekarja keras dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian, ada suatu kondisi di mana seseorang berada dalam kondisi yang kurang beruntung sehingga ia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sinilah sesungguhnya Islam telah membentuk mekanisme support social untuk mengatasi masalah kemiskinan, yakni dengan mendorong setiap muslim agar menolong saudaranya yang membuthkan. Allah berfirman dalam surat al-Ma’arij : 24-25. “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”
Tanggung jawab kaum kaya terhadap kaum miskin telah terpola sedemikian rupa dalam Islam. Dalam harta setiap muslim terdapat hak orang miskin yang harus dipenuhi, untuk itulah Islam mensyariatkan zakat dan amal social lainnya. Yusuf Al-Qardawi menegaskan bahwa tujuan dasar dari zakat adalah untuk memecahkan masalah social seperti kemiskinan, pengangguran, bencana alam, hutan, distribusi pendapatan yang tidak adil dan lain-lain. Oleh karena itu sistem distribusi zakat merupakan solusi untuk masalah kemiskinan dan bantuan untuk orang misikin tanpa memandang ras, warna kulit, dan suku. Sadeq dalam penelitiannya menemukan bahwa institusi zakat membantu memberantas kemiskinan yang membawa penderitaan yang tak terkatakan. Kemiskinan akan mendorong seseorang untuk mengemis sebagaimana hal itu dikutuk oleh Islam. Dengan demikian masalah kemiskinan tidak diharapkan menjadi masalah yang serius dalam ekonomi Islam. Hal senada juga terdapat consensus para ulama bahwa prioritas yang lebih tingi dalam zakat adalah pemberantasan kemiskinan. Hal senada juga dikemukakan oleh Abdullah, Derus dan Malkawid dalam kajiannya berjudul The effectiveness of zakat in alleviating poverty and inequalities: A measurement using a newly developed technique bahwa zakat menjadi cara yang sangat efektif untuk membantu orang miskin menyingkirkan mereka dari kemiskinan sehingga pengumpulan dan pencairan zakat harus diefektifkan.
Dengan demikian, Islam mensyaratkan zakat dan menentukan nisabnya dengan tujuan meratakan jaminan social, sehingga semakin banyak hak orang fakir yang tepenuhi dan dengan demikian semakin mengurangi perbedaan kelas-kelas dalam masyarakat. Islam membenci perbedaan kelas yang mencolok karena perbedaan ini menimbulkan adanya rasa dendam dan kebencian seperti keresahan-keresahan dan kegoncangan-kegoncangan yang sering menjadi sebab timbulmya perpecahan dalam masyarakat.
Bila seluruh rakyat sudah memahami zakat sebagai suatu kewajiban serta menyadari arti pentingnya zakat dalam berbagai aspek kehidupan, maka dalam waktu dekat, pemulihan ekonomi nasional dalam waktu dekat akan dapat terealisasi. Dengan demikian, kita dapat mengharapkan Indonesia mencapai kemakmuran sebagaimana yang terjadi pada masa khalifah Umar bin Abd Aziz, di mana dana negara saat itu surplus dan rakyat hidup dalam kemakmuran. (Jo)
(Mahasiswa Magister Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga- Surabaya)