ARTIKEL (HALUANPOS.COM)-Pemberian otonomi yang luas kepada daerah-daerah di Indonesia seperti yang tercantum dalam UU nomor 22 dan 25 tahun 1999, yang diperbaharui dalam UU nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah merupakan bagian rekayasa kelembagaan untuk mempercepat proses demokratisasi di Indonesia dan di daerah. Undang-undang tersebut tidak hanya mengatur tentang sistem administrasi daerah, tapi juga ttg pelimpahan kewenangan dari pusat kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri.
Kacung Marijan (2010) dalam bukunya Sistem Politik Indonesia, menjelaskan bahwa otonomi daerah sekaligus merupakan upaya pelaksanaan sistem desentralisasi politik, dimana telah terjadi perubahan relasi antara pemerintahan pusat dan daerah. Jika sebelumnya, kewenangan terpusat di pusat atau desentralisasi kekuasaan dan kewenangan, dalam sistem otonomi daerah kemudian, urusan pemerintah di transfer ke daerah. Tambahan lagi, relasi antar lembaga eksekutif dan legislatif di daerah pun berubah. Saat ini lembaga DPRD dan bupati atau gubernur dalam posisi yang sejajar.
Kedua lembaga ini, saat ini dijuluki sebagai “unsur pimpinan daerah”. Hak dan kewenangan DPRD dalam otonomi daerah menjadi diperbesar. Dalam konteks inilah DPRD tidak lagi menjadi subordinasi dari eksekutif atau sebaliknya didaerah-daerah.
Reformasi terhadap hak dan kewajiban dua lembaga dalam sistem pemerintahan daerah ini menjadi semacam harapan baik bagi bangunan sistem politik yang demokratis. Lebih dari itu, sistem politik lokal di daerah pun akan mengalami perubahan dan perbaikan ke arah yang lebih baik. Tetapi dengan banyaknya peristiwa dan kondisi pelaksanaan sistem politik lokal yang dilakukan selama ini, muncul pertanyaan, apakah dengan menguatkan sistem pemerintahan daerah melalui pemberdayaan yang lebih luas pada lembaga eksekutif dan legislatif daerah cukup menjamin terlaksanannya sistem politik lokal yang demokratis? Hal inilah yang akan dicari pemecahannya.
Dalam banyak literatur tentang otonomi daerah, demokrasi, dan penguatan politik lokal, banyak diuraikan tentang perlunya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada lembaga-lembaga politik daerah, terutama eksekutif dan legislatif. Penguatan kelembagaan lokal menjadi penting untuk menjamin terwujudnya demokratisasi di daerah. Di Indonesia, sejak pemberlakuan UU otonomi daerah dan pergeseran paradigma kewenangan pusat kepada daerah telah direspons oleh setiap daerah dengan cara yang berbeda. Dengan demikian, muncullah kekhasan sistem politik dan pemerintahan daerah/lokal yang disesuaikan dengan karakter dan kearifan budaya lokal masyarakat yang ada.
Dengan otonomi pula daerah-daerah di Indonesia mulai berbenah diri. Mereka memilih sendiri pemimpin daerah mereka, yang jika dalam rezim orde baru hal ini tidak mungkin dilakukan, karena pemimpin daerah merupakan drop-dropan dari pusat terutama para anggota militer yang dekat dengan kalangan istana atau Soeharto. Daerah ingin putra daerah memimpin. Karena asumsinya putra daerahlah yang mengetahui kondisi dari persoalan di daerahnya dibandingkan dengan orang-orang yang didatangkan ke daerah tersebut, yang mayoritas dari mereka hanya berlandaskan kepentingan dan target2 pribadi/golongan serta mengejar karir semata.
Jika melihat hasil pemilu/kada beberapa daerah dalam sepuluh tahun belakangan ini terlihat bahwa para putra daerah hampir telah memenuhi jabatan-jabatan penting di daerah asal masing-masing. Meskipun masih ditemui beberapa daerah yang tidak. namun apapun hasilnya, masyarakat daerah tetap memercayai kepemimpinan mereka.
Ketika sistem kepartaian diberlakukan dengan intensif di tanah air semenjak pasca orde baru, maka partai-partai politik mulai memasang kader-kader daerah terbaiknya untuk maju dalam pemilu/kada diberbagai daerah. Dengan suara mayoritas, maka legitimasi pemimpin atau eksekutif daerah akan lebih mudah dan langgeng harapannya.
Dari mereka-mereka inilah nantinya harapan daerah digantungkan dgn segala cita2 dan asanya yg akan dapat mengemban amanah untuk masyarakat yg diwakilinya, sebagaimana titah para ninik-mamak pemangku adat ;
didahulukan selangkah
ditinggikan seranting
dituakan oleh orang banyak
dikemukakan oleh orang ramai
diangkat menurut patutnya
dikukuhkan menurut layaknya
diangkat menurut adat
dikukuhkan menurut lembaga
yang dikatakan pemimpin
berkata lidahnya masin
bercakap pintanya kabul
melenggang tangannya berisi
menyuruh sekali pergi
menghimbau sekali datang
melarang sekali sudah
bagaikan kayu di tengah padang
tempat beramu besar dan kecil
rimbun daun tempat berteduh
kuat dahannya tempat bergantung
besar batang tempat bersandar
kokoh uratnya tempat bersilang.
Namun dibelakang dari itu, masyarakat tentu sudah menetapkan sosok-sosok dari pribadi yang mumpuni mengemban amanah besar tersebut, agar cita-cita otonomi daerah sebagaimana diatas dapat terwujud, dengan menetapkan kriteria-kriteria sebagai berikut ;
yang dikatakan pemimpin
elok lahir sempurna batin
eloknya boleh ditengok
sempurnanya boleh dirasa
elok duduk dengan tegaknya
elok tingkah dengan lakunya
elok budi dengan bahasanya
elok tegur dengan sapanya
elok tutur dengan katanya
elok langkah dengan lenggangnya
sempurna iman dengan takwanya
sempurna akal dengan fikirnya
sempurna ilmu dengan amalnya
sempurna hati dengan pekertinya.
Penulis: Asrizal Chatib, Sekretaris Persaudaraan Mubaligh Kualu Kab. Kampar