PEKANBARU(Haluanpos.com)-
KONGRES Rakyat Riau I (KRR I) yang diselenggarakan pada tanggal 31 Januari hingga 2 Februari 1955 di Pekanbaru melahirkan beberapa keputusan penting, salah satunya menuntut supaya daerah Riau dijadikan daerah otonom setingkat provinsi. Sebelumnya, Riau merupakan salah satu kewedanaan yang tergabung dalam Provinsi Sumatera Tengah bersama Sumatera Barat dan Jambi.

Tekad yang kuat dari pemuka masyarakat Riau yang menuntut agar Riau dijadikan sebagai daerah otonom setingkat provinsi seperti Aceh, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi, berawal dari kekecewaan minimnya perhatian terhadap pembangunan di Riau terutama pembangunan sekolah dan infrastruktur.

Melalui perjuangan yang panjang tak kenal lelah dari tokoh-tokoh Riau, Provinsi Riau akhirnya berdiri dengan ditandatanganinya Undang-Undang Darurat No 19 Tahun 1957 oleh Presiden Soekarno di Denpasar, Bali pada tanggal 9 Agustus 1957.

Setelah empat puluh tahun Provinsi Riau pasca KRR I, pembangunan dan kesejahteraaan rakyat daerah yang kaya bahan tambang minyak ini, masih jauh tertinggal. Padahal setiap hari satu juta barrel minyak disedot dari perut bumi Riau. Riau ibarat ayam bertelur di lumbung padi mati kelaparan. Seiring era reformasi, Riau menuntut hak-haknya antara lain dalam bentuk dana bagi hasil migas dan pengelolaan ladang minyak yang sudah habis kontraknya dengan PT Caltex Pacific Indonesia.

Dimotori oleh Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat (FKPMR), maka Presidium FKPMR  mengeluarkan keputusan No. 01/FKPMR/XI/1999/tanggal 15 November 1999 dan No. 03/FKPMR/XI/1999 tanggal 16 November 1999, menetapkan diselenggarakannya Kongres Rakyat Riau II.

MENARIK DIBACA:  Pasca Terbakar Pasar Cik Puan, Wakil Ketua DPRD kota Pekanbaru Tinjau Pasar Cik Puan

Tercatat dalam sejarah Riau, KRR II yang diselenggarakan tanggal 29 Januari – 1 Februari 2000 di Pekanbaru, melalui pemungutan suara, KRR II memenangkan Opsi Merdeka. Hasil lengkapnya, Opsi Riau Merdeka memperoleh 270 suara, Opsi Riau Federal memperoleh 146 suara dan Opsi Otonomi Luas memperoleh 199 suara, Abstain 8 suara, dari total 623 peserta KRR II yang memberi suara.

Saat ini Riau sedang menghadapi masalah sangat serius tentang pemangkasan dana Transfer ke Daerah  (TKD) yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Media SABANGMERAUKE NEWS, Riau, menulis, keuangan pemerintahan daerah di Riau tahun 2026 mendatang dipastikan akan berdarah-darah. Bahkan, pengurangan DBH Migas mencapai lebih dari separoh, dibandingkan dengan penerimaan DBH Migas Riau tahun 2025. Disiarkan, pada tahun 2025, jajaran pemerintahan daerah di Riau (Pemprov Riau dan 12 kabupaten/ kota) mendapat kucuran DBH Migas sebesar Rp 2,63 triliun, namun, pada tahun 2026 mendatang, Riau hanya mendapat DBH Migas sebesar Rp 1,17 triliun. Gawat ini, Wak. Seluruh kabupaten/kota di Riau untuk tahun 2026 mengalami pemangkasan perolehan DBH Migas lebih dari separuh.

Pemangkasan TKD (termasuk komponen DBH) jelas sangat mengancam pebangunan daerah, demikian ditulis Muhammad  Herwan, Pemerhati Kebijakan Publik, (RANAHRIAU.COM 7 Okt 2025). Kebijakan pusat memangkas Dana TKD, yang di dalamnya terdapat komponen DBH migas dan DBH non migas (khususnya DBH Kelapa Sawit), sangat merugikan daerah. Pengurangan ini akibat dari kebijakan efisiensi anggaran yang diumumkan pemerintahan Presiden Prabowo dengan menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 kemudian ditindaklanjuti oleh Menkeu Sri Mulyani melalui PMK Nomor 56 Tahun 2025 pada bulan Juli 2025 dan mulai berlaku per Agustus 2025. Kebijakan tersebut jelas membuat pembangunan di daerah menjadi stagnan dan beban ekonomi rakyat semakin berat.

MENARIK DIBACA:  Tuan Crab melakukan kegiatan Jum'at Berbagi

Beban daerah semakin berat, sebab selain pemangkasan TKD, kebijakan Pemerintah melalui Permendagri No. 14 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2026, menginstruksikan  pembebanan Anggaran MBG (Makan Bergizi Gratis) Tahun 2026 dibiayai dangan APBD (tidak lagi dibiayai dengan dana APBN seperti yang dijalankan di tahun 2025 ini).

Pemotongan TKD khususnya DBH Migas (mandatory UU Migas 15,5%) dan DBH Sawit (mandatory UU HKPD), merupakan prinsip yang sejatinya harus ditolak bersama-sama oleh daerah, tersebab ini adalah hak daerah yang tak bisa dipotong secara sepihak oleh Pemerintah Pusat. Kita semua tentu sangat paham, bahwa klausul yang diatur dalam Undang-Undang tak bisa diubah hanya dengan Inpres atau Peraturan Menteri.

Daerah harus bersikap. Jangan gentar. Pemangkasan TKD ini  tak boleh dibiarkan, Pemerintah Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota dan DPRD Provinsi/Kab/Kita) harus segera bersikap tegak bersama mengepalkan tinju memperjuangkan hak keuangan daerah. Sekarang saatnya Gubri membuka komunikasi dan konsultasi dengan berbagai komponen di masyarakat seperti Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), LAMR, MUI, Forum Rektor, Forum DPR RI dan DPD RI dapil Riau sebagai benteng pertahanan.

MENARIK DIBACA:  Kisah Perjuangan Riski Penyandang Disabilitas Tetap Semangat Jalani Hidup

Anggota DPR RI dan Anggota DPD RI harus menunjukkan keperbihakan yang tegas membela kepentingan daerah. Untuk kepentingan pembangunan percepatan pembangunan dan pelayanan masyarakat yang lebih baik, gubernur tak perlu takut. Gubernur harus berani gunakan kekuatan bersama seluruh komponen masyarakat sebelum anggaran kita berdarah-darah disembelih oleh kekuasaan dan elit politik di pusat sana.

Daerah harus lebih dulu berdarah-darah kompak berjuang menjunjung tinggi menegakkan keadilan dan kebenaran yang menjadi hak daerah. Dalam tunjuk ajar Melayu, keadilan dan kebenaran adalah kunci utama dalam menegakkan tuah dan marwah. Keadilan dan kebenaran harus dijunjung tinggi, tak dapat ditawar-tawar. Bagi FKPMR, sekaranglah momen yang tepat untuk menyelenggarakan KRR III sebagaimana diamanatkan oleh MUBES III FKPMR bulau Mei 2025 lalu. Melalui KRR III rakyat Riau harus bersikap. Takut karena salah berani karena benar. ***

(Penulis ; Dr. drh. H. Chaidir, MM, Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

By admin