BADUT

0
1994
Agusyanto Bakar, SSos, MSi
Agusyanto Bakar, SSos, MSi
Agusyanto Bakar, SSos, MSi

Oleh : Agusyanto Bakar, SSos, MSi
Tinggal di Kabupaten Meranti

OPINI (HPC) -Badut dalam tulisan ini hanyalah karakter komik dalam sebuah alur politik. Dikutip dari artikel Ostaf Al-Mustafa (2011), bahwa Robin dan Dick adalah dua badut yang berada di antara sosok Doktor Faustus, Lucifer (Pangeran Kegelapan) dan Mephistophilis atau Mephistopheles (setan). Dikisahkan tentang Robin yang membuat perjanjian dengan setan atas suruhan Wagner : Pesuruh dan murid Faustus. Perjanjian itu berupa penghambaan diri terhadap Lucifer dan Mephistophilis. Faustus berkolaborasi dengan Lucifer untuk mendapatkan kekuasaan abadi : Inilah kehendak politik dari hasrat rendah manusia yang pada masa itu belum terbentuk dalam suatu partai politik. Seandainya Lucifer dan Mephistophilis tak ada pada masa itu, Faustus pasti memilih menjadi anggota sebuah partai politik : Hasrat kuasa dan ambisi jabatan keduniawiannya bisa terlampiaskan dalam partai.
Sebenarnya badut terbesar dalam drama tersebut adalah Doktor Faustus, karena ia bersekutu dengan Lucifer dan menjadi budak setianya. Ia menggadaikan jiwanya demi ambisi kekuasaan dan kesenangan menggebu, mirip sejenis penyakit yang oleh Costa and McCrae dalam Martha L Cottam disebut ‘neuroticism’ : Dorongan untuk menjadi berkuasa melebihi dosis yang pantas. Pengidap penyakit ini mencari peran-peran kepemimpinan untuk berburu kekuasaan dengan tidak kenal menyerah, menggunakan serta memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan tersebut dengan berbagai macam cara, bahkan menjelma bagai bunglon, seperti tergambar dalam puisi Imam Muttaqin : “Hati-hati! Mewarna terang kala berperang/Mewarna serupa kala bersama/Kadang sembunyi di barisan oposisi/Kadang larut di barisan pengikut. Kini seolah kawan/Esok bisa jadi lawan/Bisa jadi dulu lawan/Kini seolah kawan/ Itu di sebelahmu!!”.

“The Tragical History of Doctor Faustus” (1588) yang di paparkan di atas, ditulis oleh dramawan Inggris : Christopher Marlowe (1564-1593) seorang dramawan kenamaan sebelum William Shakespeare (1564-1616), menunjukkan pengaruh badut dalam area politik keserakahan, jamak dijumpai karena kerap di praktikkan dengan sempurna oleh para elite dalam konstelasi politik global, termasuk bila kita berbicara dalam setting perpolitikan kontemporer Indonesia. Betapa tidak, fenomena politik semacam ini tentu saja merupakan praktek politik yang kehilangan roh dalam memperjuangkan aspirasi dan mensejahterakan rakyat serta kehilangan fungsinya dalam pendidikan politik rakyat.

Rakyat yang merupakan tokoh kunci dalam system politik demokrasi yang merupakan ujung tombak terpenting sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, namun pada kenyataannya rakyat tak lebih ditempatkan sebagai ‘penggembira’ dan diposisikan tak lebih sekedar hanya me-legitimate kekuasaan para politisi. Selebihnya, siapa yang peduli nasib rakyat? Pertanyaan lugu saya adalah, apakah pilgubri 2018 mendatang betul-betul untuk kepentingan rakyat? Pertanyaan selanjutnya adalah, rakyat yang mana yang tuan maksud?

Terlepas dari itu, yang jelas saya tidak berburuk sangka! Bahkan saya percaya, di antara yang tidak baik, pasti ada yang baik dan yang tulus. Tidak mungkin yang tidak baik ada tanpa ada yang baik. Karena harus ada yang di jadikan parameter untuk mengukurnya. Orang yang tidak baik itu ada, pasti ada orang baik sebagai parameternya. Tapi mungkin saja kuantitas orang baik tidak cukup signifikan untuk merubah keadaan. Saya hanya tidak ingin pelaksanaan Pilgubri 2018 mendatang hanya sebagai arena hiburan bagi-bagi duit diiringi goyangan musik dangdut yang ‘hot’ dan rakyat di suguhi tontonan kontes perebutan kursi jabatan yang di perankan oleh para elite. Dampaknya pada rakyat? Ya, paling tidak rakyat hanya mendapatkan hiburan sesaat. Selebihnya? Ndak ada, ndak ada (dengan aksen jawa)! Lalu, janji untuk kesejahteraan rakyat yang berapi-api di orasikan itu apa? Ah, itukan hanya sebatas bumbu kampanye, bualan kosong : Kebohongan demi kebohongan yang sengaja di rajut sedemikian rupa sembari tersenyum yang di buat-buat di polesan bibir, penampilan dan bahasa tubuh ditunjang dengan kepandaian berorasi, beretorika dan berbicara menjadi topeng political power untuk membungkus keterbatasan kemampuan. The politics of cosmetics, kata Yasraf Amir Piliang : Ia bagian dari teknik memanggil, mengajak, merayu dan membujuk serta seduksi (seduction). Politik kosmetika merupakan praktik manipulasi penampakan luar sebagai strategi mendapatkan kekuasaan dengan cara mendistorsi politik ideologi (pertarungan ide, gagasan, keyakinan dan makna politik). Dus, kosmetika politik adalah kondisi ketika paradigma politik mengikuti esensi kosmetika yaitu politik yang direduksi menjadi politik kemasan, penampilan luar (Politics of appearance)

Oleh karenanya, dalam konteks inilah kecerdasan rakyat sebagai pemilih sangat di butuhkan : Jangan terpengaruh pada data elektabilitas yang sarat kepentingan subjektif para elite. Betapa tidak, hasil studi yang dilakukan oleh Mietzner (2009), M. Qodari (2010) dan Trihartono (2014) berkesimpulan tentang itu. Akibatnya, tak jarang sosok potensial yang mampu membangun dengan keterbatasan dana hingga mampu menekan tingkat kemiskinan tidak di apresiasi dan tergerus olehnya. Konsekuensi paling fatalnya adalah pengalaman sejarah telah membuktikan, bahwa spirit pilkada yang seharusnya menuntun kearah yang di harapkan rakyat, malah kerap terjadi sebaliknya, rakyat acap di jadikan objek dari para pemburu kekuasaan yang sok dermawan. Fenomena yang di paparkan ini paling tidak terefleksi jelas dalam kalimat puitis penyair kondang, semi finalis pada ‘North America Open Poetry Contest’ (2000) Muhary Wahyu Nurba, yang menggambarkan kedustaan badut dalam salah satu puisinya : “Percayalah, aku akan tetap bersama kalian/ aku akan membangun jembatan yang kalian idamkan/ yang menghubungkan kerakusan dengan kehancuran,” dan “Aku hanya sekadar butuh dukungan/ selebihnya, kuyakinkan pada kalian bahwa aku akan menjadi mimpi burukmu yang paling menyeramkan.”

Apapun itu, yang jelas saya hanya berusaha memotret fenomena politik kontemporer Indonesia khususnya menyangkut pelaksanaan Pilkada yang kerap membuat banyak orang pesimistis dan tersenyum kecut sembari menikmati pahatan kata-kata puitis Muhary Wahyu Nurba : “Udara di tengah kota seperti ditumpahi sebotol cuka tepat ketika ia, si pengkhianat itu, menghisapi dengan seksama mimpi dan harapan mereka.” : Semoga hal itu tidak terjadi di sini! Sebab, kita juga harus optimis, karena badut adalah sosok yang berada di tengah-tengah malaikat dan setan, kata Ostaf Al-Mustafa (2011). Dengan demikian, masih ada ruang bagi badut untuk bertindak laksana malaikat, asalkan jangan menjadi setan berjubah malaikat! Wassallam