
Opini (HPC)-Berdasarkan keputusan Rapat Komisi II DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri pada hari senin (29/2/16) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta tentang revisi Undang-Undang Pilkada dan Undang- Undang Pemerintah Daerah sehingga menghasilkan dan menyetujui sebanyak 88 Daerah Otonom Baru (DOB) yang tersebar di Nusantara. Diantara sebanyak 88 DOB tersebut terdapat 5 DOB yang berada di daerah Provinsi Riau.
Kelima Daerah Otonom Baru itu berasal dari Kabupaten Kampar yaitu Gunung Sahilan Darussalam (Gusdar), Kabupaten Rokan Hulu yaitu Rokan Darussalam, Kabupaten Bengkalis yaitu Kota Duri, dan Kabupaten Indragiri Hilir yang menghasilkan pemekaran Kabupaten Indragiri Selatan (Insel) dan Indragiri Utara.
Pemekaran DOB yang telah diputuskan dalam Rapat Komisi II DPR RI beberapa hari yang lalu menimbulkan pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat. Pemekaran DOB untuk 5 kabupaten di Riau ini masyarakat menilai baik sebab bisa terjadinya pemerataan dalam pembangunan daerah di Provinsi Riau sesuai dengan UU 45 terkait keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tetapi, dilain sisi ada juga masyarakat yang menilai apa sebenarnya dibalik pemekaran lima kabupaten baru di Riau ini, adakah di dalamnya tersirat kepentingan golongan belaka?.
Pemekaran yang dilakukan oleh beberapa kabupaten memungkinkan Provinsi Riau akan terpecah-belah lagi menjadi provinsi baru. Banyak wacana yang kita dengar dimasyarakat tentang pemisahan antara Riau Daratan dengan Riau Pesisir. Bagian yang akan dijadikan kabupaten untuk Provinsi Riau Pesisir mungkin salah satunya dari kabupaten baru pemekaran itu.
Diubahnya sistim centralisasi menjadi desentralisasi pada era reformasi pada hakikatnya merupakan suatu terobosan baru bagi sistim NKRI demi pemerataan anggaran, keadilan dalam menjalankan roda kepemerintahan provinsi hingga pedesaan, meski konsep yang ada masih jauh dari harapan karena realita yang ada terjadinya pemekaran cuma perebutan kekuasaan yang pada akhirnya terjebak KKN dan akhirnya berhadapan dengan hukum. Artinya, Riau ditambah lima kabupaten sah-sah saja demi tujuan UUD 45, terkait kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Tapi, secara politis, melihat latarbelakang-latarbelakang daerah yang dimekarkan jauh dari nilai serta filsafat provinsi itu sendiri terkait ciri khas Melayu, simbol Lancang Kuning dan Kota Madya Bertuah. Jadi, sangat memungkinkan kehadiran pemekaran dengan pemaksaan akan berdampak negatif terhadap filosofi Riau.
Dampak negatif itu salah satunya adalah timbulnya keinginan untuk memilah antara Pesisir dan Daratan. Inilah yang perlu kita waspadai dalam pemekaran lima Daerah Otonom Baru tersebut. Sungguh sangat memprihatinkan jika Riau terbagi lagi seperti Riau Daratan dan Kepulauan Riau.
Melihat DOB yang dominan kepentingan sukuisme dan blok pesisir serta daratan sehingga seakan rasa persaudaraan satu Negeri Lancang Kuning akan pudar. Namun, harapannya pemekaran harus ditunjang dengan kontroling dan staf ahli masing-masing negeri digunakanlah semaksimal mungkin, agar lebih serius dan terarah dalam menjalankan roda pemerintahan karena merasa negeri adalah bagian darinya dan ia mempunyai hak penuh menjaga dan merawatnya dari carut-marut serta keadilan, kesejahteraan, kedamaian dan ketentraman adalah tujuan utama dalam mengabdi.
DOB 5 kabupaten tambahan untuk Riau sengaja dipaksakan hanya untuk beberapa kepentingan ,salah satunya adalah pemisahan Riau Daratan dan Riau Pesisir. Mungkin, ini semua disebalik pemekaran 5 Daerah Otonom Baru tersebut.
Namun, harapan kita semua masyarakat Riau jangan sampai pemekaran lima Daerah Otonom Baru ini dijadikan alat oleh oknum-oknum yang sengaja memaksakan kehendaknya untuk membentuk, memilah, memisah, dan memecahkan provinsi Riau ini menjadi terbagi dua daratan dan pesisir. Hendaknya, terbentuknya lima Daerah Otonom Baru ini bisa menjadikan Provinsi Riau menjadi lebih baik lagi.***
Penulis adalah Alumni UIN Suska Riau dan Wakil Sekretaris LMR Kec Tampan