Oleh Medayanti
NIM : 24110050
Dosen : Dr, Shelvie Famella, M.Pd
Mata kuliah : Perilaku Organisasi dan Institusi Pendidikan
Universitas Lancang Kuning Pekanbaru
ARTIKEL – SMAN 4 Tambusai Utara berdiri di wilayah perbatasan yang unik sebuah kawasan yang mempertemukan dua provinsi sekaligus beragam budaya masyarakat. Di lingkungan sekolah, setiap hari kita mendengar campuran dialek Melayu, Minang, Batak, Jawa, dan bahasa daerah lainnya yang saling bertemu di ruang-ruang kelas.
Keberagaman itu indah, tetapi juga membawa dinamika yang tidak selalu terlihat oleh mata luar. Sekilas, sekolah tampak teratur, laporan administrasi lengkap, dan kegiatan berjalan sesuai agenda. Namun di balik ketertiban formal tersebut, ada cerita lain: cerita tentang konflik yang diam-diam tumbuh dan memengaruhi denyut kehidupan sekolah.
Konflik itu bermula dari ketegangan antara apa yang tertulis dan apa yang terjadi. Guru di SMAN 4 Tambusai Utara bekerja dalam dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, mereka harus memenuhi tuntutan administratif: perangkat pembelajaran, laporan supervisi, dokumen akreditasi, dan berbagai formulir yang harus selesai tepat waktu. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan realitas kelas yang jauh lebih kompleks siswa dengan kemampuan, budaya, dan kebutuhan belajar yang sangat beragam. Sering kali guru ingin mengajar secara lebih mendalam, ingin menyesuaikan pendekatan dengan latar budaya siswa, tetapi energi mereka terpecah oleh tumpukan tugas administrasi. Tanpa disadari, muncullah konflik sunyi antara kewajiban formal dan panggilan moral sebagai pendidik. Sementara itu, keberagaman budaya yang menjadi kekayaan sekolah juga menghadirkan konflik yang lebih halus. Cara berbicara, gaya menyampaikan pendapat, dan kebiasaan bekerja yang berbeda kadang membuat hubungan antar guru berjalan di atas kehati-hatian. Ada guru yang terbiasa lugas, ada yang lebih memilih bahasa halus, ada yang mudah mengungkapkan ketidaksetujuan, dan ada yang memilih diam demi menjaga harmoni. Karena terbiasa hidup di lingkungan sosial yang menilai ketenangan sebagai tanda kedewasaan, banyak guru lebih memilih menghindari konflik daripada menyelesaikannya. Diam menjadi cara bertahan, tetapi diam juga membuat masalah kecil tertimbun tanpa pernah benar-benar selesai. Konflik juga muncul di antara siswa. Di sekolah perbatasan, anak-anak tidak hanya membawa buku dan tas ke sekolah, tetapi juga membawa identitas budaya masing-masing. Ada siswa yang percaya diri dan terbiasa berbicara lantang, sementara yang lain cenderung pendiam. Ada yang tumbuh dalam budaya kompetitif, dan ada yang terbiasa tidak ingin menonjol.
Perbedaan ini kadang menimbulkan gesekan ejekan kecil, ketidaknyamanan, hingga jarak antar kelompok belajar. Meskipun tidak berujung pada konflik besar, ketegangan sosial-budaya itu cukup untuk membuat beberapa siswa merasa tidak sepenuhnya aman atau diterima.
Ketika sekolah berusaha memperkenalkan inovasi dan perubahan, konflik lain ikut muncul. Tidak semua guru langsung siap beradaptasi. Ada yang merasa metode baru tidak cocok diterapkan di sekolah perbatasan. Ada yang menilai siswa belum siap, ada yang merasa fasilitas kurang mendukung, atau sekadar khawatir bahwa perubahan hanya menambah beban. Akhirnya, program-program baru sering tampak mulus dalam laporan, tetapi tidak sepenuhnya hidup dalam praktik. Ini melahirkan ilusi kemajuan sebuah situasi di mana sekolah tampak berkembang, padahal yang benar-benar berubah hanyalah dokumen, bukan budaya belajar di dalamnya. Di tengah semua itu, hubungan antara pimpinan sekolah dan guru juga tidak lepas dari ketegangan. Kepala sekolah ingin memastikan semua berjalan tertib dan terukur, sementara guru ingin mendapatkan ruang yang lebih besar untuk kreativitas dan penyesuaian. Tidak ada yang salah dari keduanya; yang mereka perjuangkan adalah dua hal yang sama-sama penting. Namun perbedaan perspektif ini sering menciptakan jarak yang tidak diucapkan: jarak antara harapan dan kenyataan, antara idealisme dan kelelahan.
Konflik-konflik tersebut baik konflik nilai, budaya, maupun struktural bertumpuk menjadi lapisan-lapisan yang tidak selalu tampak dalam kehidupan sekolah. Namun di balik semua tantangan itu, SMAN 4 Tambusai Utara memiliki peluang besar untuk tumbuh. Keberagaman budaya dapat menjadi laboratorium sosial yang mengajarkan toleransi dan pemahaman. Konflik dapat menjadi pintu menuju perbaikan jika ditangani dengan keberanian, dialog, dan keterbukaan. Kemajuan sejati sekolah perbatasan bukan terletak pada dokumen yang rapi, tetapi pada kemampuan sekolah membaca konflik apa adanya dan mengolahnya menjadi energi positif. Saat guru, siswa, dan pimpinan menyadari bahwa konflik bukan ancaman melainkan bagian alami dari proses tumbuh, maka SMAN 4 Tambusai Utara akan menjadi lebih dari sekadar institusi pendidikan ia akan menjadi ruang belajar yang hidup, matang, dan manusiawi bagi semua yang berada di dalamnya.
Untuk mengurai berbagai konflik yang muncul di SMAN 4 Tambusai Utara, sekolah mulai membangun suasana dialog yang lebih terbuka. Guru, pimpinan, dan tenaga kependidikan dikumpulkan dalam forum diskusi kecil yang lebih santai agar setiap orang bisa menyampaikan pandangan tanpa rasa takut dinilai. Dari ruang percakapan itu, perlahan muncul kesadaran bahwa perbedaan budaya, cara bekerja, dan persepsi yang selama ini memicu ketegangan sebenarnya bisa dipahami dan dijembatani jika diberikan ruang untuk saling mendengar.
Pada saat yang sama, sekolah mulai menata ulang cara kerja agar tidak semua energi guru tersedot pada administrasi. Beberapa dokumen dipermudah alurnya, sebagian dikerjakan secara kolaboratif, dan sebagian lain disesuaikan dengan realitas sekolah perbatasan. Langkah kecil ini memberi guru ruang bernapas untuk kembali fokus pada kebutuhan belajar siswa yang beragam.
Kepala sekolah juga menginisiasi pendekatan lintas budaya dengan menghadirkan kegiatan yang mempertemukan siswa dari latar etnis berbeda dalam proyek bersama. Dari proyek itulah, siswa belajar memahami karakter teman-teman mereka, mengurangi prasangka, dan membangun rasa memiliki sebagai satu komunitas sekolah. Untuk mengurangi resistensi terhadap perubahan, sekolah mulai memperkenalkan inovasi secara bertahap, bukan sekaligus. Guru yang lebih siap menjadi mentor bagi guru lain, sehingga perubahan terasa lebih manusiawi dan tidak menakutkan. Perlahan, guru yang awalnya ragu mulai menikmati kesempatan untuk berkreasi tanpa takut salah.
Semua langkah itu dilakukan tidak dengan tergesa-gesa, tetapi dengan ritme yang menghargai kondisi sekolah perbatasan dan keberagaman warganya. Konflik tidak hilang seketika, tetapi melalui komunikasi, kolaborasi, dan penyesuaian yang realistis, sekolah berhasil mengubah konflik tersebut menjadi proses pertumbuhan. Di situlah SMAN 4 Tambusai Utara mulai menemukan bentuknya sebagai sekolah yang bukan hanya rapi di atas kertas, tetapi juga semakin dewasa dalam kehidupan sehari-harinya.
https://drive.google.com/file/d/1D72ap-txeSbkQ0hWo6o8wFFkTza8ZUEV/view?usp=sharing
