Ditulis Oleh : Armelya Armyk
NIM : 2486110003
Dosen : Dr, Shelvie Famella, M.Pd
Mata kuliah : Perilaku Organisasi dan Institusi Pendidikan
Universitas Lancang Kuning Pekanbaru
ARTIKEL – Di lingkungan sekolah, konflik tidak selalu tampil dalam bentuk pertengkaran besar atau peristiwa dramatis. Lebih sering, konflik justru hadir sebagai kejadian kecil yang dibiarkan tanpa penyelesaian, lalu diam-diam membesar hingga melampaui batas ruang kelas. Itulah yang terjadi di SMAN 5 Tapung. Sebuah sekolah yang dikenal tenang, namun sekali waktu diguncang oleh peristiwa yang menguji kedewasaan seluruh warganya.
Konflik bermula dari seorang siswa berinisial R. Dalam catatan kehadiran, R sering tidak masuk sekolah, meninggalkan kelas tanpa izin, bahkan beberapa kali ditemukan pulang pada jam belajar tanpa pengetahuan wali kelas. Guru wali kelas berinisial AA berupaya menegur dan menemukan solusi, namun di sisi lain orang tua R justru percaya bahwa anaknya selalu berangkat ke sekolah seperti biasa.
Kesenjangan informasi inilah yang kemudian berubah menjadi ketegangan. Ketika wali kelas menyampaikan kondisi sebenarnya, orang tua R menolak percaya. Guru dianggap membesar-besarkan masalah, bahkan dituduh menyudutkan siswa. Ketidakpercayaan itu berubah menjadi emosi. Suasana ruang guru yang biasanya kondusif tiba-tiba menjadi tegang, dipenuhi kata-kata kasar dan tuduhan yang dilontarkan dengan nada tinggi. Perdebatan yang seharusnya dapat selesai dengan dialog justru berubah menjadi pertikaian terbuka.
Tidak berhenti di situ. Orang tua tersebut kemudian membawa persoalan ke media sosial, memviralkan nama wali kelas dan menggambarkan seolah – olah anak dan keluarganya telah diperlakukan tidak adil oleh pihak sekolah. Narasi yang tidak utuh itu menyebar cepat. Namun sesuatu yang tidak mereka perkirakan terjadi: alumni – alumni SMAN 5 Tapung justru ramai membela guru wali kelas. Mereka menceritakan pengalaman positif selama sekolah, menegaskan bahwa guru tersebut dikenal adil dan bertanggung jawab. Perlahan, opini publik berbalik.
Pada titik itu, orang tua R mulai menyadari bahwa yang mereka suarakan di ruang publik tidak sepenuhnya didukung fakta. Tekanan sosial muncul, rasa malu tidak terhindarkan, dan akhirnya keputusan besar dibuat R dipindahkan ke sekolah lain.
Kasus ini menunjukkan bahwa konflik kecil di kelas dapat berkembang menjadi gunung es jika tidak ditangani dengan pemahaman bersama. Ketidakhadiran R mungkin terlihat sebagai persoalan sederhana, tetapi ketika kepercayaan antara sekolah dan orang tua retak, dampaknya meluas ke relasi sosial, reputasi guru, bahkan psikologis keluarga.
SMAN 5 Tapung belajar banyak dari peristiwa ini. Bahwa komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting. Bahwa guru membutuhkan perlindungan ketika mereka bekerja sesuai aturan. Dan bahwa media sosial, jika digunakan tanpa pertimbangan, dapat memperkeruh masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan bicara dari hati ke hati.
Konflik kecil tidak selalu kecil. Kadang ia hanya menunggu momen untuk muncul ke permukaan mengingatkan kita bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang untuk membangun kepercayaan dan kedewasaan bersama.
https://drive.google.com/file/d/1oRveH4YwqOF_3Mm9Oj37TVi3ELOVuRTT/view?usp=drive_link
