PEKANBARU(Haluanpos.com) – Pergelaran Karya Inovatif “Nyanyian Hutan” Karya SPN Iwan Irawan Permadi pada 7 November 2020 Malam digedung Anjung Seni Idrus Tintin Bandar Seni Raja Ali Haji Provinsi Riau Kota Pekanbaru, mendapatkan Kupasan yang menarik dari Duni Sirwani selaku Pamong Budaya Madya Dinas Kebudayaan Provinsi Riau usai menyaksikan pergelaran tari “Nyanyian Hutan” karya SPN Iwan Irawan Permadi seorang seni tari termuka di Indonesia yang bermastautin dikota Pekanbaru.

Pertunjukan karya tari inovatif ” Nyanyian Hutan ” sangat menarik dan perlu kita berikan apresisasi. Melihat dari kostum yang dipakai oleh koreografer dan penari yang menggunakan pakai kulit kayu (torok) serta anyaman daun yang dililitkan di kepala serta badan, hal ini mengingatkan kita tentang tradisi masyarakat suku Sakai. Penampilan yang membentangkan nilai-nilai tradisi masyarakat suku Sakai, pertunjukan ini juga memberikan sebuah edukasi bagi penonton tentang nilai adat dan tradisi masyarakat suku Sakai yang hampir punah disaat ini.

MENARIK DIBACA:  Puskesmas Simpang Baru Ajak Tingkatkan Silaturahmi
Tarian Nyanyian Hutan" Karya SPN Iwan Irawan Permadi
Tarian Nyanyian Hutan” Karya SPN Iwan Irawan Permadi

Suku Sakai merupakan salah satu suku asli Riau, hingga saat ini masih kental dengan adat istiadat budayanya. Pakai kulit kayu yang merupakan pakaian tradisi yang puluhan tahun digunakan oleh masyarakat suku Sakai, hingga saat ini masih ada digunakan oleh masyarakat suku Sakai, seperti dalam acara upacara adat dan acara seni lainnya. Selasa(10/11/20)

Dari segi ukuran dan warna pakaian kulit kayu suku Sakai yang digunakan oleh penari dan koreografer, SPN Iwan Irawan Permadi yang dibuat dari bahan blacu, menurut saya merupakan suatu bentuk yang sudah sesuai, terutama pada bentuk corak warnanya,” ungkap Duni Sriwani

Bahkan penilaian saya, sebelum penari melakukan pertunjukan dengan menggunakan kostum kulit kayu merupakan tradisi masyarakat suku Sakai, tentunya seorang koreografer sudah melakukan proses kajian ataupun mendalami bagaimana bentuk pakai tradisi masyarakat suku Sakai. Sedangkan masalah ukuran celananya, memang ada sedikit perbedaan ukuran. Kalau menurut Saya, ukuran celana dari kulit kayu masyarakat suku Sakai biasanya diatas lutut atau pendek, namun karena kondisi penari yang ingin leluasa dalam melakukan gerakan tari diatas panggung, maka ada inisiatif sang koreografer untuk mensiasatinya sehingga penonton yang menyaksikan pergelaran tari tersebut sudah bisa berimajinasi ataupun menggambarkan pakaian tradisi masyarakat suku Sakai yang digunakan pada puluhan tahun yang lalu. Kita akui, bahwa didalam dunia seni peran, tidak 100 Persen seni peran tersebut menggunakan bentuk simbol-simbol tradisi masyarakat yang ada, paling tidak simbol-simbol tersebut terwakili ataupun bisa menyerupai bentuk simbol-simbol tersebut,” kupas Duni Sriwani

MENARIK DIBACA:  Luar Biasa, Roadshow SiSeSa di Pekanbaru Hadirkan Citra Kirana

Memang, didalam sebuah pertunjukan seni, seorang sutradara ataupun koreografer harus bisa berinovatif dan imajinatif, sehingga apa yang menjadi alat pendukung sebuah pertunjukan, baik kostum yang digunakan, make up, artistik, lighting serta musik sebagai pendukung, harus bisa memberikan imajinasi bagi penonton.

Jadi, dengan pergelaran tari yang mengangkat kegelisahan masyarakat suku Sakai yang hampir meninggalkan cara hidup mereka yang lama atau Ilmu mereka dalam mengolah alam sekitar pun semakin terbatas untuk digunakan, ini merupakan akibat hutan yang menjadi tempat sumber kehidupan masyarakat suku Sakai semakin habis. Salah satunya termasuk dalam pembuatan pakaian dari bahan kulit kayu,” ungkap Duni Sriwani.

By admin