Menelisik Tugas Pemimpin Perspektif Maqasid Syari’ah

0
249

ARTIKEL (HALUANPOS.COM)-Dalam kitab Hilyatu al-Auliya Wa Thabaqat al-Ashfiya karangan Imam al-Hafidz Abi Na’im al-Ashbaha>ni> menyebutkan bahwa Fudail bin ‘Iya>d berkata: “sekiranya saya mempunyai doanya yang mustajab (diterima atau dikabulkan), niscaya akan saya peruntukkan bagi pemimpin, kemudian orang bertanya, mengapa demikian? Fudail menjawab. “ Jika doa mustajab tersebut saya pakai untuk diri saya sendiri, saya tidak akan mendapatkan balasan. Namun jika saya pakai untuk mendoakan pemimpin maka baiknya pemimpin akan berdampak pada rakyat dan negeri” (Nu’aim, 1974). Ungkapan ini tentu bisa dibenarkan secara logika, karena seorang pemimpin itu membawa efek kepada yang dipimpinnya, pemimpin yang baik tentu saja akan menelurkan regulasi yang baik pula, orientasi pengabdian dalam kepemimpinan jauh lebih banyak ketimbang orientasi yang lainnya, kalau pun popularitas, penghormatan serta nilai finansial yang bertambah pada seorang pemimpin itu hanya bagian dari hasil orientasi pengabdian yang dilakukan oleh pemimpin tersebut, semacam akibat dari sebab pengabdiannya. Tidak dipungkiri beban tanggung jawab yang melekat pada diri seorang pemimpin tidak bisa dikatakan mudah, penuh dengan masalah, karena tugas pemimpin salah satunya adalah mengurai masalah serta menemukan solusi yang baik dan tepat bagi yang dipimpinnya, sehingga benarlah Nabi Muhammad SAW yang mengabarkan bahwa diantara mereka yang akan mendapatkan perlindungan Allah SWT di hari kiamat dimana tidak ada perlindungan selain dari-Nya adalah seorang pemimpin yang adil.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu: (1) Pemimpin yang adil, (2) Pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, (3) Orang yang hatinya terpaut dengan masjid, (4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, (5) Seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita berkedudukan dan cantik lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah,’ (6) Orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan tangan kanannya, dan (7) Orang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan sendirian hingga air matanya menetes.” (HR. Al-Bukhari No. 660 dan Muslim No. 1031). Hadis ini memposisikan pemimpin yang adil sebagai yang pertama pada hierarki orang yang mendapatkan perlindungan Allah SWT di hari akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin mempunyai peran vital dalam kehidupan masyarakat. Pemimpin yang menghadirkan keadilan dalam hukum, distribusi sumber daya dan pengambilan keputusan. Pemimpin yang adil sudah barang tentu pemimpin yang mempunyai budi yang luhur sebagai cerminan dari keberimanan yang mendalam, mengenai nilai seorang pemimpin sila baca tulisan saya (https://www.inhilklik.com/news/detail/46179/sisi-yang-harus-diperhatikan-dalam-memilih-pemimpin-catatan-untuk-pemilukada-2024).
Karena tugas yang dipikul oleh pemimpin itu tidaklah mudah maka wajar ganjaran yang diperoleh juga besar seperti ungkapan dalam bahasa Arab al-jaza>u min jinsi al-amal (balasan itu sepadan dengan perbuatan), Jika ditelisik tugas pemimpin perspektif maqasid syari’ah (tujuan diturunkan atau diberlakukan syari’ah) mengambil versi Imam al-Sha>t}ibi> yang sering disebut maqasid al-khamsah atau kulliyat al-khamsah (universal yang lima) berupa menjaga agama (hifzu al-di>n), menjaga jiwa (hifzu al-nafs), menjaga keturunan (hifzu al-nasl), menjaga akal (hifzu aql), dan menjaga harta (hifzu al-ma>l) (Al-Shatibi, 2003). Penulis sengaja mengambil versi Sha>tibi> ini karena ini adalah bagian pokok dari pengembangan maqa>sid syari’ah yang lainnya seperti menjaga lingkungan, menjaga tanah air dan lainnya. Dari maqasid khamsah atau kulliyat khamsah tersebut didapatilah tugas pemimpin sebagai berikut: Pertama, menjaga agama (hifzu al-di>n) menjaga akidah atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya, memberikan akses yang luas bagi setiap pemeluk agama yang dilindungi undang-undang untuk mengamalkan agamanya, seperti misalnya pembangunan tempat ibadah yang sesuai regulasi maka dipersilahkan untuk membinanya. Begitu pula aktivitas-aktivitas spritual lain sehingga pemeluk agama merasa aman dan nyaman dalam menjalankan ibadahnya. Dengan adanya jaminan keamanan dan kenyamanan diharapkan terbentuk pribadi-pribadi sholeh yang dibalut oleh nilai luhur agama yang akhirnya mengantarkan kepada kesholehan publik atau masyarakat. Kedua, menjaga jiwa (hifzu al-nafs) memastikan masyarakat terhindar dari ancaman yang bisa menghilangkan jiwa, baik itu dalam konteks preventif (pencegahan) maupun penindakan, seperti ketersediaan undang-undang atau regulasi, perangkat keamanan (seperti polisi), ketersediaan penanggulangan bencana seperti kebakaran, ketersediaan rumah sakit dan tenaga medis dan lainnya. Ketiga, menjaga keturunan (hifzu al-nasl) bagaimanapun keberlangsungan manusia harus tetap dijaga dengan cara-cara yang baik, dalam hal misalnya penindakan terhadap perzinaan, penyimpangan sexsualitas dan hal-hal yang menjatuhkan ataupun merusak keturunan termasuk antisipasi dari gizi yang buruk. Keempat, menjaga akal (hifzu aql) akal adalah bagian yang terpenting dari anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia, karena dengannya mampu manusia menciptakan kreasi yang dapat menunjang tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah yang memakmurkan bumi, diantara aktivitas menjaga akal adalah membangun sekolah-sekolah dan universitas, serta keterlibatan lainya dalam bidang memajukan pendidikan serta pencegahan rusaknya fungsi akal seperti penyalahgunaan narkotika dan minuman yang memabukkan. Kelima, menjaga harta (hifzu al-ma>l) bagian yang tidak pisahkan dari kehidupan manusia di dunia adalah harta benda, seorang pemimpin mesti memastikan penjagaan terhadap harta dengan baik, misalnya kesehatan institusi perbankan, regulasi ekonomi yang sehat, menaikkan dan menjaga pendapatan daerah, termasuk juga praktik yang merugikan seperti judi yang harus diberantas.
Nabi Muhammad SAW dalam suatu hadisnya membuat gambaran pemimpin dengan kata ra’in dalam hadis (Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatihi) terjemahnya setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Dari aspek kebahasaan kata ra’in bermakna ra’a yang artinya menggembala atau menjaga, dimana tradisi Arab seorang penggembala bertanggung jawab secara menyeluruh terhadap gembalaannya, seperti memberi makan, melindungi dari bahaya, mengarahkan serta memastikan kesejahteraan mereka. Maka bisa saja disatu situasi pengembala berada di hadapan gembalaannya, bisa ditengah-tengah gembalaannya ataupun bisa juga berada dibelakang mereka, yang jelas keseluruhan dari aktivitas penggembala itu adalah memastikan bahwa gembalaannya aman, terhindar dari bahaya dan sejahtera. Diakhir tulisan ini penulis mengucapkan selamat kepada para pejabat daerah baik tingkat I Gubernur dan Wakil Gubernur maupun tingkat II Bupati dan Wakil Bupati yang dilantik hari ini, semoga kemudahan, kelancaran dan kesehatan mengiringi langkah pengabdiannya dimasyarakat.

Penulis: Abd. Malik Al Munir (Warga RT 007 Tanjungpinang Timur)