PELALAWAN (HALUANPOS.COM)- – Di tengah tantangan zaman yang kian kompleks, pendidikan yang berakar pada kearifan lokal kembali ditegaskan sebagai fondasi penting dalam membentuk karakter generasi muda. Hal ini tergambar jelas dalam Pelatihan Implementasi Kurikulum Merdeka untuk Muatan Lokal Budaya Melayu Riau (BMR) yang diselenggarakan Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Tambak, bertempat di Gedung Serbaguna SD IT Dareh Hikmah, Sabtu (10/5/2025).
Kegiatan yang diikuti oleh 100 peserta, terdiri dari guru mata pelajaran BMR dan kepala sekolah SD/MI se-Kecamatan Tambak, dibuka secara resmi oleh Umar, S.Pd, selaku Koordinator Wilayah Pendidikan Kecamatan Tambak, mewakili Kepala Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kabupaten Pelalawan.
“Pelatihan ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah langkah konkret kita dalam menanamkan cinta pada budaya Melayu sejak dini melalui pendidikan dasar,” ujar Umar dalam sambutannya.
Dari Regulasi ke Ruang Kelas
Pelatihan ini ditaja oleh Toko Buku Mandiri bekerja sama dengan K3S Kecamatan Tambak, dan menghadirkan dua narasumber utama yang memiliki rekam jejak kuat dalam dunia budaya dan pendidikan: Jefri Al Malay, Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning, dan Derichard H. Putra, penulis buku Muatan Lokal Budaya Melayu Riau untuk jenjang SD hingga SMA/SMK/MA.
Dalam pemaparannya, Jefri Al Malay menegaskan bahwa penerapan mata pelajaran BMR telah memiliki landasan hukum yang kokoh, mulai dari Peraturan Daerah Provinsi Riau, Peraturan Gubernur, hingga regulasi di tingkat kabupaten.
“Dengan payung hukum yang jelas, BMR bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban. Tantangan kita hari ini bukan pada legalitas, tetapi pada kualitas penyampaian dan makna yang sampai ke siswa,” tegas Jefri.
Ia menambahkan bahwa pendidikan berbasis budaya lokal adalah cara paling konkret untuk mempertahankan identitas bangsa di tengah derasnya arus globalisasi dan budaya instan.
Menghidupkan Budaya Lewat Empati dan Imajinasi.
Sementara itu, Derichard H. Putra menyoroti pentingnya pendekatan kontekstual dan kreatif dalam pembelajaran BMR. Ia mengajak para guru untuk menghadirkan pengalaman budaya di ruang kelas, bukan sekadar menyampaikan teori atau hafalan.
“Budaya bukan hanya soal isi buku. Ia adalah rasa, cerita, gerak, dan kehidupan itu sendiri. Ajaklah siswa menyulam songket, menari zapin, atau mendengar kisah tokoh Melayu — di situlah nilai-nilai luhur tumbuh,” ungkap Derichard.
Ia juga menekankan bahwa peran guru sangat penting dalam menjadikan pembelajaran budaya sebagai ruang refleksi dan pembentukan karakter.
“Nilai-nilai Melayu seperti sopan santun, tenggang rasa, dan harmoni sosial hari ini semakin tergerus. Sekolah harus menjadi rumah budaya yang mampu memulihkannya,” tambahnya.
Menuju Sekolah sebagai Rumah Budaya
Pelatihan ini ditutup secara resmi oleh perwakilan K3S Kecamatan Tambak, dengan harapan bahwa semangat yang dibangun dalam kegiatan ini tidak berhenti di pelatihan, melainkan menjelma menjadi aksi nyata di ruang-ruang kelas.
Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang peningkatan kompetensi guru, tetapi juga momentum kebangkitan pendidikan berbasis budaya lokal yang menyatu dengan semangat Kurikulum Merdeka — merdeka dalam berpikir, merdeka dalam belajar, dan merdeka dalam mencintai akar budayanya sendiri. (Rls)