
Oleh : Sumantro,S.H.
Opini (HPC)- Penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu penyakit sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, yang sampai pada detik ini masih belum mampu diberantas secara tuntas dan yang lebih menyedihkan lagi penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di dunia medis atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab disalahgunakan atau digunakan tanpa ada pengendalian dan pengawasan yang seksama secara medis sehingga menimbulkan efek negatif dalam pemakaiannya. Oleh karena alasan pengaruh besar yang bersifat negatif yang timbul dari penyalahgunaan narkotika menyebabkan kejahatan narkotika dikategorikan sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Narkotika Nasional (BNN) angka prevalensi penggunaan narkotika di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 5,1 juta orang.
Para Pengguna atau penyalahguna Narkotika tidak menyadari bahwa bahaya kesehatan dan ketergantungan terhadap narkotika sedang mengincar mereka. Padahal, Negara berupaya meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia secara maksimal melalui program-program pemerintah, untuk mewujudkan kesehateraan dan kemakmuaran yang merata kepada seluruh rakyat Indonesia. Tetapi, pada kenyataannya menunjukkan bahwa sebagian Rakyat Indonesia (pengguna narkotika) tidak menghargai upaya pemerintah dan juga tidak peduli dengan kesehatan dan kesejahteraannya.
Penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu tindak pidana (strafbaar feit) sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pada umumnya suatu tindak pidana apabila dilarang maka akan diberikan sanksi pidana yaitu berupa penjara, kurungan atau denda sesuai dengan stelsel pemidanaan dalam Pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) kecuali diatur lain dalam undang-undang yang bersifat lex spesialis. Suatu hal yang menarik dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya dalam hal menyikapi terjadinya tindak pidana penyalahgunaan narkotika dimana dalam Pasal 54 Undang-Undang Narkotika menyatakan bahwa Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Artinya bahwa untuk memberantas penyalahgunaan narkotika, pemidanaan bukanlah sebagai sarana yang tepat, tetapi rehabilitasi harus diutamakan sebagai sarana untuk menghapus atau memberantas penyalahgunaan narkotika. Penerapan pemidanaan dalam penyalahgunaan narkotika harus dipandang sebagai ultimum remedium (alat terakhir).
Rehabilitasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotikadan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika terdapat dua jenis yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis dilakukan dengan tujuan untuk membebaskan penyalahguna narkotika dari ketergantungan narkotika, sedangkan rehabilitasi sosial dilakukan dengan harapan agar penyalahguna (pecandu) narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial di dalam masyarakat.
Memberikan hasil yang efektif dalam melaksanakan pelayanan rehabilitasi kepada pecandu (penyalahguna) narkotika dengan semangat untuk meminimalisir penyalagunaan narkotika dan meningkatkan sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas dengan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 serta Keputusan Menkes RI No.18/Menkes/SK/VII/2012maka dibentuk sebuah sistem kelembagaan yang dinamakan IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor). Institusi Penerima Wajib Lapor adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah. Keberadaan lembaga IPWL tersebut maka pendekatan kebijakan lebih ditujukan pada healthy (kesehatan) bukan pada punishment (hukuman) sehingga pelaku penyalahgunaan narkotika lebih membukakan diri untuk melaporkan diri guna mendapatkan pemulihan dan tindakan medis berupa rehabilitasi.