Oleh : Dini Atifa Aisyah
ARTIKEL (HALUANPOS.COM)-Bahasa Indonesia hari ini dikenal sebagai bahasa modern yang digunakan oleh lebih dari 270 juta penduduk di berbagai aspek kehidupan pendidikan, pemerintahan, media, dan budaya. Namun, sedikit yang menyadari bahwa di balik modernitas ini, terdapat jejak sejarah panjang yang berasal dari bahasa Melayu dan aksara Jawi. Sayangnya, warisan ini perlahan memudar dari ingatan kolektif masyarakat Indonesia.
Bahasa Melayu: Akar Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu sudah digunakan di Nusantara sejak abad ke-7 Masehi, terbukti melalui Prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang ditemukan di Sumatera Selatan. Bahasa ini menyebar ke berbagai wilayah melalui jalur perdagangan, dakwah Islam, dan kekuasaan kerajaan-kerajaan Melayu.
Menurut Mahsun dalam bukunya Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi (2012), bahasa Melayu dipilih sebagai dasar bahasa nasional Indonesia karena sudah berfungsi sebagai lingua franca antar wilayah dan suku, serta memiliki struktur yang mudah dipelajari.
Pemilihan bahasa Melayu sebagai dasar bahasa Indonesia pada Sumpah Pemuda 1928 bukan tanpa alasan—bahasa ini dianggap netral, tidak mewakili kelompok etnis mayoritas tertentu, dan memiliki sejarah panjang sebagai bahasa pemersatu.
Tulisan Jawi: Aksara Melayu yang Terlupakan
Sebelum huruf Latin menjadi standar, bahasa Melayu ditulis dalam aksara Jawi, yaitu tulisan berbasis huruf Arab yang telah dimodifikasi. Tulisan Jawi digunakan secara luas sejak abad ke-13 M, bersamaan dengan penyebaran Islam di Asia Tenggara.
Dalam The Malay Civilization karya Asmah Haji Omar (2000), dijelaskan bahwa tulisan Jawi tidak hanya digunakan untuk kepentingan keagamaan, tetapi juga untuk sastra, hukum, pendidikan, hingga surat-menyurat kerajaan. Hikayat-hikayat Melayu klasik, naskah-naskah hukum adat, dan fatwa-fatwa keagamaan ditulis dengan Jawi, menjadikannya sebagai alat intelektual masyarakat Melayu selama berabad-abad.
Peralihan ke Huruf Latin: Simbol Modernisasi
Masuknya kolonialisme Eropa, khususnya Belanda, membawa pengaruh besar terhadap sistem tulis di Nusantara. Huruf Latin diperkenalkan melalui pendidikan kolonial dan media cetak, menggantikan posisi dominan aksara Jawi.
Salah satu titik penting peralihan ini adalah pengesahan Ejaan Van Ophuijsen pada 1901 yang menstandarkan penggunaan huruf Latin untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu, dominasi Latin semakin menguat, terlebih setelah kemerdekaan Indonesia dan diberlakukannya Ejaan Republik (1947) dan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) pada 1972.
Harun Aminurrashid dalam Sejarah Bahasa Melayu (1988) mencatat bahwa proses modernisasi bahasa dan pendidikan secara tidak langsung mengikis keberadaan tulisan Jawi dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Warisan yang Layak Diingat
Hari ini, tulisan Jawi nyaris tidak dikenal di Indonesia, meskipun masih bertahan di beberapa wilayah seperti Aceh, Riau, dan sebagian pesantren. Ironisnya, di Malaysia dan Brunei, tulisan ini tetap diajarkan dan dipertahankan sebagai bagian dari identitas budaya Melayu.
Padahal, seperti yang dikemukakan oleh A. Teeuw dalam Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1994), tulisan Jawi adalah bagian penting dari sejarah keberaksaraan bangsa. Menghapusnya dari ingatan kita berarti mengabaikan sebagian warisan intelektual dan budaya bangsa sendiri.
Menjaga yang Lama untuk Menguatkan yang Baru
Tulisan Jawi dan bahasa Melayu adalah fondasi tempat berdirinya bahasa Indonesia modern. Memahami asal-usul ini bukan berarti kembali ke masa lalu, tetapi menghargai perjalanan panjang bahasa yang kini menjadi simbol persatuan nasional.
Sudah saatnya kita mulai memperkenalkan kembali tulisan Jawi—bukan sebagai alat komunikasi utama, tetapi sebagai identitas sejarah dan simbol intelektual Nusantara. Upaya ini bisa dimulai melalui pendidikan budaya, pelestarian naskah kuno, dan integrasi dalam kurikulum sejarah dan bahasa.***
Penulis : Dini Atifa Aisyah (202401019)
Mahasiswa ISNJ Bengkalis, Jurusan Akuntasi Syariah