Oleh: Safina An Najah Zuhairoh

OPINI (HALUANPOS.COM)“Kita hidup di dunia yang dibanjiri informasi namun miskin penjelasan. Terlalu banyak kegaduhan namun minim wawasan” –Vox
Kalimat di atas sangat mewakili kondisi kita saat ini, era disinformarsi. Zaman ketika informasi berkembang sangat pesat namun disaat kondisi masyarakat yang tidak siap. Karena yang menyebar bukan hanya berita-berita yang informatif produktif, namun juga hoaks. Masyarakat kerap kali kesulitan memahami fakta dan berita, padahal banyak sekali beredar informasi.
Hari ini setiap orang bisa menjadi sumber dan penyebar berita. Tentu bagus jika hal-hal baik yang disebar, namun sayangnya tidak selalu demikian. Begitu banyak informasi yang tersebar sering bertolak belakang satu sama lain. Banyak informasi yang tidak jelas, konten maupun sumbernya.
Banyak informasi yang bombastis dan cenderung berlebihan. Banyak fakta yang diputarbalikkan. Pendusta dinilai jujur, orang jujur dicap pendusta. Orang yang amanah dicap pengkhianat dan pengkhianat dipercaya dan diberi amanah. Semua terjadi hari ini. Peran media sosial yang begitu besar juga memberikan dampak negatif yang juga mengkhawatirkan. Selain akan menimbulkan kegaduhan bahkan bisa menciptakan perpecahan. Dan ini sangat berbahaya.
Berangkat dari dilema ini, pemerintah berencana mengambil keputusan menciptakan polisi siber pada 2021. Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam wawancara khusus dengan Kompas.id, Kamis (17/12/2020). “Serangan digital memang dilematis, tetapi kami sudah memutuskan ada polisi siber,” kata Mahfud. Adapun polisi siber yang dimaksud Mahfud berupa kontra narasi.
Adanya polisi siber bukanlah solusi tuntas dari persoalan yang negeri ini hadapi. Rendahnya wawasan, minimnya literasi dan mindset materialis yang menjangkiti masyarakat adalah masalah besar dan utama dalam persoalan ini. Pemerintah hanya terfokus pada permukaan masalah, namun abai terhadap akar masalah. Ibarat tanaman yang sakit karena kualitas akar yang buruk, namun pemerintah hanya terfokus bagaimana menggugurkan dedaunan yang layu. Yang ada hanya menambah persoalan baru. Kesalahan menganalisa masalah akan mengantarkan pada penyelesaian yang keliru dan mengakibatkan kesia-siaan upaya. Anggaran dana yang tidak sedikit untuk kebijakan polisi siber ini bisa saja menghantarkan pada kemubaziran.
Biaya pendidikan yang mahal dan sulitnya akses menepuh pendidikan tinggi, serta abainya negara mengedukasi rakyatnya agar edukatif adalah persoalan inti. Polisi siber tidak akan memberikan pengaruh banyak jika tujuan kita adalah menciptakan masyarakat cerdas, produktif dan bijaksana bersosial media.
Yang saya khawatirkan dari kebijakan polisi siber ini justru akan menghantarkan pada tindakan represif demi kepentingan politik penguasa. Semua narasi yang bersifat kontra dengan istana akan dihantam. Jika itu terjadi, maka akan melahirkan kediktaktoran penguasa, tentu ini juga bahaya.
Sebagai rakyat, kita juga perlu mengkritisi setiap kebijakan dan kinerja penguasa. Namun dengan adanya polisi siber ini, dikhawatirkan akan merampas hak-hak bersuara rakyat karena tidak sejalan dengan kemauan penguasa. Impian kebebasan bersuara akhirnya direnggut oleh penguasa yang terpilih di sistem demokrasi itu sendiri. Memang miris.
Sebagaimana buku ‘how democracies die?’ yang laris di New York Times dan sempat viral. Buku tersebut isinya menjelaskan paradoks demokrasi. Dikatakan, pembunuh demokrasi bukanlah para tiran diktator, melainkan pembunuhnya adalah penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi itu sendiri. Dan menurut para pengamat politik, semua indikatornya telah ada pada rezim sekarang.
Sekarang saja kebebasan bersuara kita perlahan dibatasi. Padahal suara yang dibungkam adalah masukan dan kritikan yang membangun agar berjalan semestinya di negeri ini. Orde reformasi yang digadang-gadang untuk demokratisasi ternyata berujung tirani. Demokrasi sudah berjalan seumur kemerdekaannya, namun mengapa belum bisa memperbaiki kondisi?
Bagaimana halnya dengan Islam?Banyak sekali literatur yang menjelaskan betapa agungnya peradaban Islam, salah satunya menggambarkan tingginya kualitas masyarakat dari sisi edukasi, kepedulian serta haibah/wibawanya. Tentu semua itu bisa terwujud karena sistem kehidupan yang dijalankan sesuai dengan konsep yang diridhai Ilahi. Maka lahirlah generasi terbaik, khairu ummah ini bukan sekadar romantisasi sejarah, ini fakta. Sudah sepantasnya kita mengambil pelajaran, apa yang membuat umat Islam hari ini terpuruk.
Khilafah yang sangat mendorong nasihat dan kritik dari rakyat. Penjagaan rakyat terhadap kepemimpinan adalah syariat yang wajib dijalankan. Masukan atau kritikan yang membangun sangat dibutuhkan –khususnya bagi penguasa- agar kedzaliman tidak terjadi. Terlebih seorang pemimpin yang padanya banyak urusan disandarkan, kemashlahatan rakyat sangat bergantung pada keputusannya. Dan sekali lagi, diam pada kedzaliman bukanlah kultur Islam. Islam menyeru pemeluknya untuk peduli, tegas menyuarakan kebenaran dan keadilan. Maka dengan khilafah Islam dapat wujudkan masyarakat cerdas, kritis dan peduli.[]
Safina An Najah Zuhairoh
vhina.zuhairoh@gmail.com

By admin