Oleh: Miranthi Dhaifina Sabila, Alumni IPB
OPINI (HALUANPOS.COM)-Pembebasan narapidana melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan virus Covid-19 dihentikan untuk sementara waktu. Asimilasi ini banyak menuai masalah dan kritik dari berbagai pihak, salah satunya datang dari aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz.”Kami menilai niatan pemerintahan Jokowi ini bertentangan dengan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Wacana ini dimunculkan, sebagai aji mumpung, sebagai peluang sehingga ada akal-akalan kasus corona untuk merevisi PP agar terpidana korupsi bisa segera bebas,” kata Donal Fariz dalam jumpa pers via video conference, Kamis (2/4).
Menurut Donal, revisi Yasonna terhadap PP 99/2012, salah satunya berisi pembebasan terhadap 300 narapidana korupsi merupakan agenda lama. Corona hanya dijadikan justifikasi dan akal-akalan saja agar PP 99 direvisi. Semestinya pemerintah concern, menjalankan melindungi warga negara, bukan justru melakukan tindakan kontraproduktif.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly sampai 11 April 2020 telah membebaskan 36.554 narapidana melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan Covid-19. Sebelum akhirnya dihentikan sementara waktu pada Kamis 16/04/2020. Hal ini dilakukan dengan alasan rumah tahanan negara sudah over kapasitas dan dikhawatirkan narapidana berisiko lebih tinggi tertular Covid-19 jika berada di dalam rumah tahanan.
Kebijakan pelepasan 35.000 lebih narapidana juga menuai masalah di berbagai daerah, salah satunya di Bali. Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Bali meringkus dua residivis anggota jaringan narkoba LP Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yakni Bayu Tama Pangestu, 24 dan Ikhlas alias Iqbal, 29, saat mengambil 2 kilogram ganja kering di kantor jasa pengiriman barang kawasan Jalan Pura Demak Denpasar, Selasa (7/4) siang. Kedua residis ini tertangkap berselang 5 hari setelah menjalani asimilasi dan dibebaskan dari LP karena pandemi Covid-19.
Kegagalan Kemenkuham dalam mengawasi 35.000 lebih narapidana yang dilepaskan, memperlihatkan bahwa kebijakan ini dibuat tergesa-gesa, serta tanpa pertimbangan dan persiapan yang matang. Solusi yang diambil oleh kemenkuham dalam menyikapi pandemi Covid-19 adalah solusi tambal sulam. Solusi yang tidak memperbaiki secara menyeluruh dan tuntas, melainkan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Maka, program asimilasi bagi napi di tengah pandemi bukanlah solusi.
Islam menawarkan solusi yang tuntas baik dalam menyelasaikan pandemi Covid-19 maupun dalam menindak pelaku kejahatan. Penanganan pelaku kejahatan dalam Islam dilandaskan atas hukum syara seperti potong tangan untuk pencuri dan hukuman mati untuk pengedar narkotika.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Qur’an Surah Al-Maidah ayat 33 yang artinya, “Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka [1] dibunuh atau [2] disalib, [3] dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, [4] atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”
Penanganan pelaku kejahatan dalam Islam sebagian besar dilaksanakan secara tuntas, sedikit jumlah pelaku kejahatan yang ditindak lewat hukuman penjara. Maka masalah over kapasitas rumah tahanan tidak pernah terjadi dalam daulah Islam. Solusi Islam jauh lebih efektif karena dapat menimbulkan sifat jera pada pelaku sekaligus menimbulkan rasa takut pada orang-orang yang berniat melakukan tindak kejahatan. []
Biodata Penulis:
Nama: Miranthi Dhaifina Sabila
Email: miranthidhaifina@gmail.com
Alumni IPB