Aspek Yuridis Pencemaran Nama Baik di Media Sosial

0
2204
Penulis Bersama Aburizal Bakrie

Oleh : Sumantro,S.H.

Dalam media sosial kita seringkala menemukan bahwa adanya tindakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menyebarkan gambar, tulisan ataupun artikel yang bertujuan untuk merusak, menyerang, atau mencemari nama baik seseorang. Pencemaran nama baik (defamation) adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan cara menyebarkan informasi (gambar, tulisan, maupun lisan) yang tidak sebenarnya dengan tujuan menyerang atau merusak atau mencemari nama baik seseorang. Perbuatan pencemaran nama baik dalam beberapa tahun terakhir sering berujung pada penyelesaiaannya di meja hijau (pengadilan), dikarenakan adanya ketidakpuasan pihak yang merasa nama baiknya dicemari, dirusak atau diserang dengan berita-berita atau informasi yang tidak sebenarnya (bersifat menuduh).

Pencemaran nama baik merupakan tindak pidana (delictumatau strafbaar feit) menurut hukum di indonesia sebagaimana yang diatur dalam pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “ Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan suatu hal, dengan maksud yang jelas agar hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Untuk besarnya sanksi pidana denda telah disesuaikan berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP: “Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali”. Oleh karena itu maka denda yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana pencemaran adalah Rp.4.500.000 (empat juta lima ratus ribu rupiah)”.

Delik pencemaran nama baik dalam hukum pidana merupakan delik aduan (klacht delict), dikarenakan merupakan delik aduan maka delik pencemaran nama baik hanya dapat di proses (penyelidikan, penyidikan, dan proses peradilan) apabila korban melakukan pengaduan (klacht) atas tindakan tersebut. Hal ini untuk menentukan bahwa apakah perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana atau tidak menurut pandangan subjektif korban. Dalam hal ini, hukum hanya semata-mata memberikan perlindungan herhadap hak-hak konstitusional korban.Dalam Pasal 72 juncto Pasal 74 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa Pengaduan dapat dilakukan oleh wakil korban yang sah dalam perkara perdata apabila korban belum berumur enam belas tahun dan juga belum dewasa atau dibawah pengampuan. Apabila tidak terdapat wakil atau wakil itu sendiri yang harus diadukan maka pengaduan dapat dilakukan oleh curator, istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus. Tenggang waktu untuk pengaduan dapat dilakukan dalam jangka waku enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, atau sembilan bulan apabila korban berada di luar negeri.

Delik pencemaran nama baik harus dalam konteks penyebarluasan informasi, yang artinya bahwa informasi itu oleh pelaku disampaikan di depan umum atau kepada umum atau dapat diketahui oleh umum. Delik pencemaran nama baik terjadi apabila informasi (keterangan-keterangan) yang disampaikan merupakan keterangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (bersifat menuduh).

Selain itu, tindak pidana pencemaran nama baik dalam hukum di Indonesia tidak hanya di atur dalam KUHP tetapijuga diatur dalam Pasal 27 (3) Juncto 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Perbuatan pencemaran nama baik dalam konteks UU nomor 11 Tahun 2008 khususnya mengatur tentang kesengajaan dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran namabaik. Diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ancaman pidana dalam Pasal Hal ini bersifat kumulatif alternatif dimana penjatuhan hukuman dikembalikan kepada pertimbangan majelis hakim.

Pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tidak menentukan apakah tindak pidana tersebut merupakan delik aduan atau delik biasa.Dikarenakan hal ini, seringkaliterjadinya keraguan dalam praktek di pengadilan atau kajian ilmiah maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah ada penegasan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan “Bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan”. Maka dengan itu jelas kiranya bahwa pencemaran nama baik dalam UU Nomor 11 tahun 2008 merupakan delik aduan.

Dalam hal pencemaran nama baik, seringkalimenimbulkan pertanyaan di berbagai media sosial, bahwa dikarenakan ada payung hukum dalam hal pencemaran nama baik, apakah bisa memilih salah satunya? Untuk menjawab Pertanyaan tersebut maka kita menggunakan asas hukum “Lex spesialis derogat legi Generali” artinya hukum yang khusus (UU ITE) mengeyampingkan hukum yang umum (KUHP). Perlu mendapat perhatian bahwa tidak semua perbuatan pencemaran nama baik penyelesaian (dasar hukumnya) menggunakan UU ITE. UU ITE hanya berlaku apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan dengan kesengajaan dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuatdapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran namabaik.Oleh karena itu, apabila perbuatan pidana pencemaran nama baik dilakukan dengan cara konvensional (tanpa media elektronik) maka yang dijadikan dasar hukum adalah KUHP.

Pengurus Di Komunitas Pena Kelana Indonesia asal Putera Pulau Rangsang, Riau Meranti.