Oleh: Annisa Fauziah, S.Si, Alumni Universitas Indonesia
OPINI (HPC)- Pandemi Covid-19 sudah berjalan hampir enam bulan di Indonesia. Namun, hingga hari ini jumlah kasus positif Covid-19 masih terus meningkat. Berdasarkan data pemerintah hingga Kamis (27/8/2020) pukul 12.00 WIB, diketahui total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 162.884 orang sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020. Jumlah itu disebabkan adanya penambahan 2.719 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir (Kompas.com, 27/8/20).
Ironisnya di tengah kondisi tersebut, justru ada rencana pembukaan kembali bioskop. Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, bioskop berkontribusi untuk meningkatkan imunitas masyarakat yang berkaitan dengan penanganan Covid-19. Pasalnya, menurut Wiku, masyarakat merasa bahagia ketika menonton film di bioskop. Perasaan bahagia itu berpengaruh pada meningkatnya imunitas tubuh yang bisa memperkecil risiko terpapar Covid-19.
Kebijakan tersebut diaminkan oleh Gubernur Jakarta Anies Baswedan. “Dalam waktu dekat ini kegiatan bioskop akan kembali dibuka. Dan protokol kesehatan akan ditegakkan lewat regulasi detil dan adanya pengawasan yang ketat. Sehingga pelaku industri memberikan jasa kepada masyarakat tanpa resiko yang besar,” ucap Anies (Kompas.com, 26/8/20).
Meskipun masih rencana, namun wacana tersebut sungguh menggelikan, apalagi dengan alasan “meningkatkan imunitas”. Pasalnya selain karena penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia masih cukup tinggi, dibukanya kembali bioskop bisa meningkatkan potensi penularan. Ruangan bioskop yang tertutup dan bersuhu dingin justru dikhawatirkan akan mempercepat penularan virus corona.
Munculnya penularan Covid-19 di klaster perkantoran dan mall, seharusnya bisa menjadi gambaran bahwa kebijakan tersebut sangat beresiko. Padahal saat perkantoran dibukapun diterapkan protokol kesehatan. Tentu akan lebih masuk akal jika pemerintah menghimbau masyarakat dengan menerapkan pola hidup sehat seperti olahraga dan makan makanan yang memiliki gizi seimbang untuk meningkatkan imunitas. Jikalau alasan untuk hiburan masyarakat, bukankah saat ini masyarakat bisa mendapatkan hiburan dengan menonton film lewat internet? Kenapa akhirnya kebijakan ini terlihat begitu dipaksakan?!
Sebenarnya pernyataan sejenis yang dilontarkan oleh pejabat negara yang notabene merupakan pemangku kekuaasaan dan kebijakan, sudah berkali-kali menimbulkan polemik. Seringkali kebijakan tersebut cenderung tergesa-gesa tanpa memperhatikan skala prioritas yang justru harus diutamakan dalam mengatasi pandemi ini.
Bukankah alasan rencana pembukaan bioskop ini lebih dominan karena motif ekonomi? yang memang secara logis bisa dipahami oleh masyarakat, yaitu untuk menyelamatkan perekonomian pengusaha bioskop dan seniman yang berkarya di dunia hiburan. Apalagi ancaman resesi ekonomi memang sudah tampak di depan mata. Namun, cukup disayangkan jika pemerintah terlihat mengambil “jalan pintas” untuk mengambil solusi terhadap permasalahan ini. Di tengah kondisi pandemi, tentu kesehatan dan keselamatan masyarakat yang seharusnya lebih diprioritaskan.
Memang wajar, dalam tatanan kehidupan kapitalis sekuler kebahagiaan pun distandarkan atas orientasi materi belaka. Gaya hidup hedonis dan permisif membuat masyarakat terbiasa menjadikan dunia hiburan menjadi pengalihan dari kejenuhan rutinitas sehari-hari. Maka, opsi solusi yang ditawarkan untuk membahagiaan masyarakat pun adalah tontonan bioskop, konser musik, yang sebenarnya cenderung melenakan dan menjadi kebahagiaan semu semata. Namun, masyarakat tidak dimotivasi untuk produktif berkarya dan memberdayakan diri.
Gangguan kesehatan mental masyarakat saat pandemi memang meningkat, bahkan bisa menurunkan imunitas. Namun, apakah akhirnya kita mengambil jalan pintas, yaitu membuka bioskop dengan dalih meningkatkan imunitas? Menyikapi polemik ini, kita bisa melihat alternatif solusi lain.
Islam memiliki solusi yang komprehensif, baik preventif maupun kuratif terkait hal ini.
Dalam skala individu, syariat Islam sudah memberikan aturan yang detail terkait dengan kesehatan, misalnya saja dalam perkara thaharah (bersuci), wudhu, adab bersin, dsb. Begitupun terkait makanan yang halal dan thayib (baik) yang bisa menjaga kesehatan seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Bahkan terkait tidur yang menjadi aktivitas penting untuk mendukung kesehatan fisik dan mental sangat diperhatikan dalam Islam. Maka, sunnah Rasulullah dalam keseharian sudah cukup memberikan gambaran yang rinci tentang bagaimana imunitas seseorang itu bisa dijaga.
Dalam tatanan masyarakat dan negara, Islam pun memiliki aturan yang begitu komprehensif. Misalnya bagaimana tindakan kuratif terkait pandemi ini harus diselesaikan secara cepat, tepat dan terstruktur yaitu dengan melakukan lockdown atau karantina wilayah yang menjadi sumber munculnya wabah sejak awal. Begitupun pemerintah akan menghimbau dan mensuasanakan agar masyarakat lebih mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak ibadah, menerima takdir sekaligus tentu tidak mengabaikan ikhtiar seperti melakukan social distancing, memakai masker, dsb. Karena imunitas diri tentu tidak terlepas juga dari sikap positif yang harus hadir dalam diri masyakat.
Sungguh masyarakat merindukan kepemimpinan dan sistem yang menaungi rakyat layaknya masa Rasulullah SAW dan para khalifah setelahnya. Sistem pemerintahan dalam Islam bukanlah sistem tangan besi yang minim koreksi dan muhasabah dari rakyatnya. Justru seharusnya pemerintah bisa membuka mata dan hati, mendengar masukan dari berbagai pihak khususnya kalangan ahli yang kompeten untuk menghadapi pandemi ini.
Sayangnya pandangan para ahli kesehatan, yang sejalan dengan syariah Islam dalam menangani wabah cenderung diabaikan. Buktinya saja pemerintah begitu ragu untuk memberlakukan lockdown atau karantina wilayah sejak awal kemunculan pandemi ini. Semoga pemerintah bisa merefleksikan diri agar lebih lebih bijak dalam menetapkan setiap kebijakan. Rasulullah SAW bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).