Korsa Aparat dalam Pembangunan Pertanian

0
1053
Prof. DR. H. irwan efendi.
Prof. DR. H. irwan efendi.

Oleh: Irwan Effendi *

OPINI (HPC)-Suatu hari, saat saya menjabat Kadiskanlut Riau saya bersama 5 orang pegawai membawa 10 ribu ekor benih lele dumbo dari Pekanbaru ke Rupat Utara. Di Dumai kami bergabung bersama sekitar 10 orang teman dari Dinas Kelautan dan Perikanan Bengkalis, menaiki speed boat menuju Rupat Utara. Memasuki waktu magrib kami tiba di tempat tujuan. Semua kami langsung masuk ke mess tempat menginap, masuk kamar, mandi berganti baju dan melepas lelah. Rupanya pejalanan Pekanbaru – Dumai – Rupat Utara cukup melelahkan.

Saya tidak langsung memasuki mess, melainkan memeriksa benih lele tadi. Bibit lele itupun sudah lelah juga, berbuih-buih di dalam kantong plastik pembungkus yang kami siapkan. Saya langsung mengurus lele itu, kebetulan sang petani calon penerima benih (namanya A Guan) yang akan diserah besok paginya datang dan membantu saya membawa semua benih itu ke kolam penampung. Keesokan harinya, sekitar jam 6.00 pagi saya mendatangi kolam itu lagi, A Guan datang mendekat dan kami mengecek benih ikan itu. Alhamdulillah sehat semua. Saya kembali ke mess bergabung bersama teman-teman yang. Yang menjadi pertanyaan bagi saya, bahwa dari tadi malam sampai paginya tidak satupun mereka bertanya siapa yang mebawa benih itu, dibawa kemana, oleh siapa dan bagaimana nasib lele yang kami bawa bersama kemarin. Alih-alih A Guan itu lah yang bertanya kepada saya tentang siapa saya. Saya hanya menjawab bahwa saya adalah Sarjana Perikanan yang menjadi aparat pemerintah.

Di lain waktu saya menjabat Kepala Dinas Kehutanan Riau. Unit Pelayan Teknis (UPT) yang pertama kali saya kunjungi adalah UPT Pembenihan. Saya mendapat sambutan hangat dari staf di sana, bahkan ada yang mengatakan saya adalah Kadis pertama yang sampai ke lokasi itu. Saya hanya tersenyum, sambil bertanya dalam hati, apa iya. Saya mengenal sebagian besar tanaman di UPT Pembenihan itu. Beberapa hari kemudian saya bermaksud berkonsultasi dan membandingkan varietas tanaman yang kami miliki dengan tanaman di Balai Benih yang ada di dinas lain. Saya sms kepala UPT Balai Benih tersebut, namun tidak dibalas. Saya telepon tak diangkat. Sayapun, karena semangat, langsung menuju lokasi kantor pemerintah itu. Kantor Balai Benih itu memiliki pekarangan yang luas, beberapa orang staf ada di sana dan ada pula yang mengenali saya. Sambutannya biasa saja. Namun saya kecewa karena sang pimpinan dan staf teknis tida ada di tempat. Lebih kecewa lagi tak sebatang benihpun ada di lokasi kantor itu.

MENARIK DIBACA:  OPTIMALISASI ZAKAT DALAM MEMBERANTAS KEMISKINAN

Pengalaman Balai Benih tanpa benih itu relatif jamak saya temui selama bergabung dengan Pemprov Riau. Mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Perikanan dan Kelauatan, Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan. Saya sering berkelakar dengan mengatakan bahwa untuk mengetahui kondisi balai benih di bidang pertanian, tidak perlu mendatangi lokasi, melainkan cukup dengan berkenalan dan memperhatikan keadaan fisik sang kepala balai benih dan bersama stafnya. Apabila telapak tangan mereka mulus, kukunya bersih dan rapi, kulitnya mulus dan aroma mereka harum parfum, dapat dipastikan bahwa balai benih mereka tidak lah sehat. Bisa jadi institusi itu menjadi balai benih tanpa benih. Sebaliknya kalau telapak tangan mereka kasar, kukunya tak bersih, kulitnya hitam mengkilat dan aromanya bau keringat, kita boleh tersenyum, itu indikator awal sukses sebuah balai benih.

Pembaca budiman, penggalan beberapa kisah di atas adalah gambaran ketiadaan atau rendahnya “korsa” para aparatur pemerintah yang ditugasi mengurusi bidang pertanian itu sendiri. Kisah aparatur pertanian yang jijik menyentuh lumpur, geli melihat ikan, takut basah dan tak pandai berenang, menutup hidung bila mencium bau pelet ikan, takut tersengat mata hari, rimbawan yang takut digigit pacat dan nyamuk, rimbawan yang alergi dengan hujan gerimis dan lain sebagainya sudah tidak asing bagi penulis. Semuanya itu juga berawal dari kadar korsa abdi negara di bidang pertnian yang tidak di hati masing-masing aparat pemerintah itu.

Kata korsa merupakan kata yang sering di pakai oleh kalangan organisasi atau perkumpulan untuk hubungannya dengan ikatan kejiwaan dalam organisasi atau perkumpulan institusi tersebut. Jiwa korsa adalah semangat keakraban, kesadaran, perasaan kesatuan, perasaan kekitaan, suatu kecintaan terhadap perhimpunan atau organisasi. Korsa diartikan pula sebagai rasa hormat, rasa hormat pribadi dan rasa hormat pada organisasi/korps. Setia, setia kepada sumpah, janji dan tradisi kesatuan serta kawan-kawan satu korps. Kesadaran, terutama kesadaran bersama, bangga untuk menjadi anggota korps.

MENARIK DIBACA:  Opini Terkait Virus Covid-19 (Corona) Bergantian Mengeluarkan Maklumat

Instansi pemerintah yang selalu memupuk jiwa korsa yang kuat adalah adalah TNI dan Kepolisian. Jiwa korsa sangat mereka utamakan untuk dimiliki oleh setiap personil mereka, bahkan sampai kepada para anggota keluarga mereka. Jiwa korsa yang yang kuat tidak mudah padam. Di dalamnya terkandung loyalitas, rasa ikut memiliki, kepedulian, megayomi, mencintai dan merasa bertanggung jawab, sehingga dalam suatu organisasi tersebut dapat dijadikan wadah untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Seseorang yang memiliki jiwa korsa tinggi pasti penuh inisiatif dan kreatif pada tupoksinya.

Lalu bagaimana dengan jiwa korsa di bidang pertanian (pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan). Agaknya perlu di flash back (ditengok ke belakang) bila ingin mengurai permasalahannya. Sebagai seorang pendidik d bidang pertanian, penulis melihat bahwa ketiadaan korsa itu salah satunya diawali dari fase pendidikan. Perkembangan teknologi, perbaikan tingkat kehidupan dan perubahan sosial budaya ditengah masyarakat turut mewarnai pola pendidikan kita. Penanaman korsa yang dulu dianggap penting, seakan hilang dan sirna. Di UIR, dahulu, diwajibkan setiap mahasiswa pertanian menjaga, menanami dan merawat 100 m2 lahan pertanian selama seseorang kuliah di Pertanian. Belakangan ini mereka mulai kekurangan lahan dan lebih celaka lagi tugas merwat dan membersikan itu sudah pula banyak diout sourcing (diupahkan) ke para pekebun yang ada di sekitar kampus itu. Habislah sudah.

Ketiadaan korsa ini akan berujung pula kepada ketiadaan kompetensi. Pengalaman saya di lapangan tidak jarang terjadi seorang aparat perikanan itu tidak bisa membedakan antara ikan nila dan gurami, tidak tau membedakan lele jantan dan lele betina dan lain sebagainya. Sudah menjadi jamak pula bahwa para aparat sektor pertanian itu di rumahnya mereka tidak memiliki tanaman atau hewan yang mencirikan bahwa dia adalah seorang aparat pertanian. Bisa dibayangkan sumbangsih apa yang dapat ia berikan ke negara sebagai kompensasi gaji yang ia terima setiap bulannya. Ia akan menyusun konsep-konsep pengembangan pertanian bagi masyarakat. Ia akan melatih dan mengajari para petani bagaimana selayaknya usaha tani itu dikembangkan. Dapat diprediksi hasilnya amatlah jauh dari kata sukses. Konsep-konsep dan keterampilan implementatif dan rasional tidak akan pernah lahir dari seseorang aparat pemerintah yang seperti ini.

MENARIK DIBACA:  Mencari Solusi Menghadapi Abrasi di Pulau Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau

Ketiadaan korsa dan kompetensi, lebih lanjut akan bermuara pula kepada degradasi (maaf terlalu kasar kalau disebut ketiadaan) integritas, moral dan loyalitas aparat. Korupsi, kolusi, nefotisme dan pembiaran merupakan ujung dari fenomena ini. Negara Indonesia yang merupakan negara agraris, sampai hari ini tidak kunjung bisa memberi makan penduduknya sendiri. Hutan dan lahan yang sepertinya diatur, ditata dan dijaga dengan baik dan benar sudah sedemikian parah terkoyak-koyak. Wajarlah bila setiap tahun kita dihadapkan banjir di musim penghujan dan asap dan kebakaran hutan di musim kemarau.

Membuat orang memiliki korsa bidang yang ditekuninya sesungguhnya tidaklah terlalu sulit. Namun diperlukan kemauan yang tulus dari hati nurani aparat yang ingin ditempa korsanya tersebut. Serangkaian pelatihan, pemagangan dan penempaan spiritual sesungguhnya ingin memberi dan memperbaiki korsa itu. Serangkaian out bond, penataran, pelatihan, pemagangan yang dilaksanakan oleh beberapa kantor pemerintah untuk tujuan ini. Sayangnya sering hal ini berlalu bergitu saja, tendensi pelaksanaan proyeknya mengemuka, kepentingan administrasi diutamakan, sehingga tujuan hakiki program itupun lenyap dan menjadi business as usual. Namun kita tidak punya pilihan lain, korsa pertanian itu harus dimiliki oleh aparat pertanian itu. Hard skill berupa keahlian, keterampilan dan pengalaman tidak akan ada gunanya tanpa kepemilikan soft skill atau korsa pertanian yang baik. Semoga…

 * Ketua Komisi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutan, Riau.