Oleh : Sumantro SH
OPINI (HPC) – Dalam masyarakat seringkali muncul opini atau spekulasi bahwa sebuah perjanjian apabila tidak diberikan (ditempel) materai maka perjanjian tersebut tidak memilik kekuatan hukum yang mengikat kepada kedua belah pihak atau tidak sah dan lain-lain sebagainya. Bahwa apakah opini atau sepekulasi tersebut hanyalah sebuah mitos atau kebenaran yang sebenarnya dari segi hukum. Sebelumnya penulis berusaha untuk mempersamakan persepsi bahwa perjanjian (Overeenkomst)adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Perbuatan tersebut merupakan perbuatan hukum yang memiliki akibat hukum, dengan adanya perbuatan tersebut maka timbullah perikatan (Verbintenis : Bahasa Belanda) yang mengikat kepada kedua belah pihak.
Hukum perikatan yang berlaku di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak(the principle of freedom of contract) dan asas konsesualisme (the principle of consensualism). Suatu perjanjian sah apabila memenuhi persyaratan Pasal 1320 KUHperdata yaitu, kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk membuat perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila dalam sebuah perjanjian melanggar syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan) maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan (canceling) dan apabila melanggar syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau suatu sebab yang halal) maka perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void).Suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 1320 KUHperdata maka prestasi (kewajiban) dari perjanjian tersebut wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Apabila salah satupihak lalai melaksanakan prestasinya maka telah dapat dikatakan terjadinya wanprestasi (cedera janji).
Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat seringkali kita temukan perjanjian yang telah dibubuhi materai dan perjanjian yang tidak dibubuhi materai. Materai pada hakekatnya adalah pajak atas dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang dibebankan oleh negara. Adapun dokumen-dokumen yang ditentukan yang dikenakan bea materai diatur dalam Pasal 2 undang-undang nomor 13 Tahun 1985 tentang bea materai. Apabila suatu perjanjian yang tidak dibubuhi meterai ingin dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan pengadilan maka pemegang surat perjanjian wajib melakukan pelunasan Bea Materai yang terutang (permateraian kemudian). Adapun dasar pemateraian kembali berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) Kepmenkeu No. 476/KMK.03/2002 dimana pemegang dokumen (perjanjian) dapat melakukan permateraian kemudian dengan menggunakan materai tempel atau surat setoran pajak dan kemudian disahkan oleh pejabat pos. Dokumen (perjanjian) yang ingin dilakukan permateraian kemudian dikenakandenda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar yang besarnya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada dasarnya setiap perjanjian yang telah dibuat dan disepakati baik yang telah bermaterai maupun tidak bermaterai memiliki kekuatan hukum pembuktian yang sama, akan tetapi suatu perjanjian yang tidak dibubuhi dengan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan maka harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan administratif yaitu dengan dilakukannya permateraian kemudian. Perjanjian memiliki kekuatan hukum mengikat kepada kedua belah pihak apabila telah terpenuhinya syarat sah suatu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata bukan pada kekuatan ditempelkannya materai di dalam perjanjian. Dalam hukum perjanjian kita mengenal asas pacta sunt servanda secara implisit dinyatakan dalam Pasal 1340 KUHperdata “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini memberikan jaminan kepastian hukum kepada setiap subjek hukum yang melakukan hubungan hukum yang bersifat keperdataan. Terakhirnya penulis ini menegaskan bahwa perjanjian yang tidak bermaterai, prestasi perjanjian tetap wajib dilaksanakan oleh para pihak, bukan berarti tanpa materai perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Tanpa ditempelkannya materai dalam perjanjian, perjanjian tersebut tetap sah secara hukum sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHperdata.