PEKANBARU(HPC) –Dengan tampil memukau, satu persatu penyair Riau, Abel Tasman, Herman Rante, Mosthamir Talib, Gd Agung Lontar, Arafat dan Griven H. Putera
tampil membacakan puisi yang merupakan karya penyair Riau Tengku Muhammad Sum yang dikenal dalam kepenyairan sebagai TM Sum pada acara peluncuran buku puisi tunggal terbarunya yang berjudul “Sang Pengembara” terbitan Komunitas Karang di Balai Puisi Raja, Jalan Kembang Sari kota Pekanbaru, Ahad( 19/07/20).
Sebagai sastrawan senior, Abel Tasman didaulat TM Fauzi pertama kali berdiri di podium. Abel membaca puisi TM Sum berjudul “Tingkap Hati”. Sebelumnya, Abel menyampaikan beberapa pandangannya tentang kumpulan puisi Sang Pengembara, terutama puisi berjudul “Tingkap Hati”.
Menurut Abel, puisi “Tingkap Hati” itu merupakan totalitas TM Sum dalam perjalanan mencari Dia Yang Hakiki. Selanjutnya tampil pula Gd Agung Lontar membaca puisi berjudul “Penjara”dan puisinya sendiri.
Sedangkan menurut Gd Adung Lontar, puisi-puisi yang dihimpun dalam buku “Sang Pengembara” bukanlah karya l’art for l’art semata. TM Sum “tidak lenyap di dalam dirinya” belaka, ungkap Gd.
Sementara itu, Herman Rante penyair yang terkenal “Sang Raja Gagak’ itu pun membaca tiga puisi dengan penuh penuh penghayatan semangat membara, di antaranya puisi “Selamat Malam Jakarta”. Semua hadirin terpukau melihat penampilan salah seorang pembaca puisi terbaik Riau tersebut. Kemudian disusul Mosthamir Thalib yang membaca puisi berjudul “Kuala Mandah”.
Menurut Mosthamir, puisi tersebut membawanya bernostalgia dengan masa lalunya. Karena puisi tersebut begitu elok menggambarkan kampung halamannya, yaitu Mandah yang kini telah hilang.
Kemudian tampil Griven H. Putera membacakan puisi TM Sum berjudul “Murai Malam 1” dan puisi karya Griven terbaru berjudul “Rinduku Tergantung di Awan”. Sebelum membaca puisi, Griven melakukan orasi singkat tentang sastra.
Menurut Griven, penyair sesungguhnya merupakan “Penyihir” karena ia mampu memukau dan menghipnotis pembaca karyanya. Untuk itu, sejatinya seorang penyair mesti mampu menjadikan dirinya “Penyihir” bagi pembaca karyanya. Mampu memukau, dan mempengaruhi jalan pikiran dan perasaan pembacanya sehingga mengikuti ide atau gagasan yang sedang ditawarkan sang penyair. Griven mencontohkan tentang pantun yang merupakan bentuk puisi lama,” ungkap Griven
“Banyak sekali pantun yang merupakan bentuk dari puisi lama Melayu yang berfungsi sebagai mantra. Pantun dapat dijadikan mantra pengasih, mantra pemanis dan lain sebagainya. Ini merupakan bukti kalau karya sastra itu dapat disebut dan dipakai sebagai sihir dalam tanda petik,” ungkap Griven.
“Untuk itu, mari kita buat puisi yang sihir itu. Tentu dengan perenungan yang dalam, dengan pilihan kata yang tidak biasa tapi memiliki daya magis yang aduhai,” kata Griven.
Lebih lanjut Griven menuturkan, bahwa sebagai karya seni, puisi-puisi TM Sum memang memiliki dulce at utile seperti yang disampaikan Horatius, bahwa setiap karya seni itu mestilah berguna dan menghimbur.
Pada kegiatan tersebut tampil terkahir, TM Sum sebagai “pegantin” yang didaulat membacakan dua puisinya yang diiringi suara gitar penyair muda TM Fauzi. Sebelumnya, TM Sum mengucapkan terima kasih kepada para sastrawan dan hadirin yang bersedia menghadiri jemputannya tersebut.
TM Fauzi sebagai ketua panitia mengucapkan terima kasih kepada semua hadirin yang hadir dalam jemputan tersebut.(YS)