Andi Saputra
Andi SaputraAndi Saputra

Masyarakat Melayu, manusia yang menjunjung tinggi adat dan budaya, terlebih nilai-nilai dasar agama. Rangkaian norma yang berkait berkelindan, menjadikan adab sebagai sebuah prinsip yang ditegakkan dalam lapangan kehidupan. Tak beradat, tak beradab, berarti tak berpendirian. Adapun agama, sebagai sebuah sistem keyakinan, menjadi fondasi bagi pandangan hidup orang Melayu yang berkepribadian. Oleh karenanya, orang Melayu adalah mereka yang menjadikan agama sebagai rambu-rambu kehidupan.

Salah satu falsafah hidup yang dianut serta dijadikan landasan perilaku orang Melayu adalah “malu”. Malu juga dikenal sebagai “siri” atau harga diri. Rasa malu, begitu kaum agamawan menyatakan, merupakan sebagian dari prinsip utama keimanan. Orang Melayu juga disebut sebagai manusia agamis, sebab agama (Islam) menjadi prasyarat utama yang harus ada pada tiap-tiap diri anggota masyarakatnya. Oleh karena orang Melayu menjunjung tinggi norma dan agama, sementara malu bagian utama dari agama, maka orang Melayu adalah orang yang menjadikan rasa malu sebagai tolok ukur langkah hidupnya. Jika telah demikian, maka “malu” merupakan identitas utama orang Melayu. Lebih jauh, malu juga sesuatu yang dibudayakan; sebuah prinsip hidup yang diturunkan dari generasi ke generasi. “Arang tercoreng di kening, malu tergores di muka”, begitu pepatah Melayu mengungkapkannya.

MENARIK DIBACA:  Ada apa dengan UR 

Sensitivitas perasaan itulah yang harus dipelihara, sebab malu merupakan bagian dari rasa yang terdapat pada relung jiwa terdalam. Malu bukan sekedar pakaian yang menutupi badan kala berada di keramaian, tetapi prinsip hidup yang diyakini meski tengah sendirian. Malu bukan karena hendak dipuji, tetapi malu adalah sikap yang patut diteladani. Ungkapan “Tak tahu malu” misalnya, menggambarkan bagaimana seorang anak manusia sedang berproses melepaskan ke-diri-annya sebagai manusia. Hanya saja, apa yang perlu dicatat bahwa rasa malu hanya akan muncul ke permukaan manakala pemilik jiwa tahu akan hakikatnya sebagai manusia. Sebab malu berkaitan dengan perasaan, malu juga berhubungan erat dengan kadar keimanan. Ringkasnya, malu akan menjadi takaran kepribadian, jika hati tempatnya bersemayam, selalu terpelihara dari segala bentuk kepura-puraan iman.

MENARIK DIBACA:  Mendorong Sagu Meranti Sebagai Komoditas Pangan Nasional

Sebagaimana telah dinyatakan, rasa malu sebagian dari nilai utama keimanan dan orang Melayu adalah masyarakat yang menjunjung tinggi hal itu—dalam seluruh lini kehidupan serta penghidupan—maka “malu” adalah bagian dari identitas masyarakat bersangkutan. Perbuatan yang dilakukan misalnya, tidak hanya terletak pada kategori senang atau tidak senang, tetapi benar atau tidak benar; membanggakan atau memalukan. Pun begitu dalam hal sikap dan ucapan; bagaimana kalimat yang terlontar dan perilaku yang tergambar, selalu dipertimbangkan secara matang. Sebab, ketika kesalahan terlanjur diperbuat, maka tanggungan malu tidak hanya bagi pelaku. Orang-orang yang berada di sekitarnya—terlebih orang tua, sanak dan saudara—turut menanggung rasa malu karena ulahnya.

Namun begitu, malu bukan hanya untuk mereka yang menyandang status sebagai rakyat, tetapi juga berlaku bagi mereka yang sedang bertahta sebagai pejabat: Bukan hanya diharuskan kepada rakyat jelata, tetapi juga wajib ada pada diri sang penguasa. Artinya, rasa malu sebagai pribadi orang Melayu, berlaku untuk semua kalangan: Tak pandang bulu. Rasa malu, cerminan orang Melayu: Malu untuk berdusta, malu mengambil sesuatu yang bukan haknya dan malu untuk melakukan segala bentuk perbuatan keji, dimana mereka meyakini bahwa Sang Pencipta selalu mengawasi. Keyakinan yang demikian itulah menjadi pagar diri; menuntun orang untuk selalu mawas diri. Jika hal yang demikian telah hilang, maka mendaku diri sebagai kaum beriman, hanyalah ungkapan yang tersimpan; tak ubahnya sebuah gubahan.

MENARIK DIBACA:  Mahmuzin Taher dan Masa Depan Meranti

 

Orang Melayu, berbudi pekerti

Indah songketnya, itulah pribadinya

Sikap malu tempat berdiri

Lepas darinya, bukanlah mereka.

 

Oleh: Andi Saputra

Ketua Intensive Islamic Internalization Programs (IIIP) Pekanbaru (2014-2015)

Anggota Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Riau-Yogyakarta (HMPR-Y)

By admin