ASPEK KEADILAN DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN

0
2917
Sumantro SH
Sumantro SH
                 Sumantro SH

Oleh : Sumantro,S.H.

OPINI (HPC)- Keadilan yang sesungguhnya dalam suatu perkara tindak pidana diibaratkan dua sisi uang logam yang tidak dapat dipertemukan. Salah satu sisi keadilan milik korban yang mengharapkan penjatuhan hukuman yang seberat mungkin kepada pelaku tindak pidana dan di lain sisi ada keadilan milik terdakwa yang berharap penjatuhan hukuman seringan-ringannya. Untuk hal ini, Dalam ilmu hukum terdapat adagium hukum yang menyatakan bahwa summum ius summa in iuria (keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi). Bahwa ketika kita berusaha memberikan keadilan kepada satu sisi maka di lain sisi akan ada yang merasakan ketidakadilan.

Seringkali kita temukan dalam media massa cetak maupun online kasus pencurian yang objeknya apabila diperhitungkan ke dalam uang tidaklah seberapa besar, sebagai contoh kasus Nenek Minah yang mencuri buah kakao, pencurian sandal jepit di Makassar, pencurian satu buah semangka di Kediri dan lain sebagainya dan pencurian yang dilakukan juga karena desakan keadaan ekonomi. Meskipun nilai dari pencurian yang dilakukan tidaklah seberapa, namun ancaman hukuman yang harus diterima sangatlah berat. Karena pada umumnya dalam kasus pencurian seringkali diterapkan ketentuan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ancaman hukuman maksimalnya 5 (lima) tahun. Hal ini menyebabkan lembaga peradilan dan aparat penegakan hukum mendapat sorotan dari masyarakat dan persepsi publik yang buruk terhadap peradilan.

Dalam pemahaman tentang tindak pidana pencurian tidak serta merta harus dijerat dengan Pasal 362 KUHP, aparat penegak hukum harus jeli dalam mengimplementasikan satu pasal dalam sebuah kasus konkrit. Pencurian yang nilai objek yang dicuri kurang dari Rp.2.500.000 (Dua juta lima ratus ribu rupiah) seharusnya didakwa dengan Pasal 364 KUHP juncto Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP (PERMA 02/2012), dengan ancaman hukuman maksimal tiga bulan atau denda sembilan juta rupiah. Dalam perkara tindak pidana pencurian ringan pengadilan tidak menetapkan penahanan dan/atau perpanjangan penahanan meskipun dalam proses di kepolisian dan kejaksaan terhadap tersangka dan/atau terdakwa telah dilakukan penahanan. Proses peradilan yang dilakukan juga didasarkan pada acara pemeriksaan cepat yang diperiksa, diadili dan diputusan oleh hakim tunggal sesuai dengan Pasal 205-210 KUHAP.

Diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP menunjukkan bahwa relevansi dari batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan kondisi perekonomian Indonesia. Dengan diterbitkannya PERMA 02/2012 mampu meminimalisir persepsi buruk masyarakat terhadap peradilan di Indonesia. Disinilah letak asas kejelian dan asas kehati-hatian hakim dalam pemeriksaan, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Hakim bukan lagi corong undang-undang, hakim harus mampu menggali, memahami, dan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat (Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009), karena setiap putusan hakim diberikan pada irah-irah eksekutorial “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Memang menjadi suatu kesulitan tersendiri untuk dapat memberikan rasa adil kepada setiap orang, terutama kepada mereka yang sedang terkait dengan persoalan hukum. Salah satu solusi terbaik untuk dapat memberikan keadilan kepada dua pihak, adakalanya penerapan Restorative Justice (keadilan restoratif) menjadi solusi yang tepat.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan  Pidana Anak menyatakan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Keadilan restoratif memang masih belum dikenal secara meluas dalam sistem peradilan di Indonesia karena mengingat sistem hukum Indonesiaa adalah Civil Law yang lebih cenderung pada penekanan  asas legalitas dan juga mengedepankan kepastian hukum. Dimana asas legalitas dan kepastian hukum (rechtzakerheid) lebih mengedepankan penerapan hukum sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh undang-undang, sedangkan dalam keadilan restoratif berusaha untuk menemukan titik perdamaian di luar pengadilan dan mencari nilai win-win solution.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here