Oleh: Sarwan Kelana
Menafsirkan al-Qur’an bukan perkara gampang atau mudah dan menafsirkan al-Qur’an juga tidak begitu sulit kalau seseorang tau dengan ilmu-ilmu nya. Yang jelas untuk menafsirkan al-Qur’an tidak sama dengan menafsirkan kitab-kitab lain, karna al-Qur’an berbeda dengan yang lain.
Kata “Metode” berasal dari bahasa yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahasa ingris, kata ini di tulis method, dan dalam bahasa arab di terjemahkan dengan thariqad dan manhaj, dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti “ cara tertentu dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya), cara kerja yang tersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan”.
Pengertian metode yang umum itu dapat di gunakan pada berbagai objek, baik yang berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi dengan hal ini dapat dikatakan metode adalah : salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Dalam kaitan ini, maka study tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode yang teratur dan di pikirkan baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang di maksudkan oleh Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Definisi ini memberika gambaran bahwa metode tafsir al-Qur’an tersebut berisi seperangkat kaidah-kaidah dan aturan yang harus di indahkan ketika menafsirkan al-Qur’an.
Metode Tahlili
Metode tafsir tahlili juga disebut metode analisis yaitu metode penafsiran yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan berbagai seginya, berdasarkan urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an dengan menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat dengan ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadits-hadits Nabi SAW yang ada kaitannya dengan ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama lainnya.
Menurut al-Farmawi metode tafsir tahlili mencakup beberapa aliran tafsir lainnya yaitu: tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi-al ra’yi, corak fiqh, corak sufi, corak falsafi, corak ‘ilmi, dan corak adabi wa ijtima’i.
Oleh karena itu, ciri-ciri utama metode tafsir ini adalah sebagai berikut:Membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan ayat itu dari berbagai seginya, Mengungkapkan asbab an-nuzul yang ditafsirkannya jika ayat tersebut memang memiliki asbab an-Nuzul, Menafsirkan ayat per-ayat secara berurutan, dalam pembahasannya selalu melihat kepada korelasi antar ayat, untuk menemukan makna dari penafsiran itu.
Metode Ijmali
Metode ijmali adalah menafsirkan al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an dengan singkat dan global, yaitu penjelasannya tanpa menggunakan uraian atau penjelasan yang panjang lebar, sehingga mudah untuk difahami oleh masyarakat awam maupun intelektual.
Asy-syibarsyi mendefinisikan tafsir ijmali adalah sebagai cara menafsirkan al-Qur’an dengan mengetengahkan beberapa persoalan, maksud dan tujuan yang menjadi kandungan ayat-ayat al-Qur’an.
Dengan metode ini mufasir tetap menempuh jalan sebagaimana metode tahlili, yaitu terikat kepada susunan-susunan yang ada di dalam mushaf. Hanya saja dalam metode ini mufassir mengambil beberapa maksud dan tujuan dari ayat-ayat yang ada secara global.
Dengan demikian, perbedaannya dengan metode tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayat-ayat di ungkap secara ringkas dan global, tetapi sangat jelas, sehingga tidak diperlukan cara yang berbelit-belit untuk menangkap maknanya. Sedangkan pada tafsir tahlili, makna ayat di jelaskan secara rinci dengan tinjauan dari berbagai segi dan aspek yang luas secara panjang lebar.
Dalam metode ijmali tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan bantuan dan rujukan dari hadits-hadits Nabi SAW, pendapat kaum salaf, peristiwa sejarah, sebab turunya al-Qur’an, dan yang paling umum adalah bantuan kaedah bahasa.
Metode Muqarran
Tafsir al–Muqarin adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadits baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan seperti:
Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, Membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.
Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa ”dalam metode ini khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat (juga ayat dengan hadis), biasanya mufassirnya menejelaskan hal-hal yang berkaitan denagan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus masalah itu sendiri.
Metode al-Maudhu’i
Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al–Nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta di dukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional. Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an.
- Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian: Pertama menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surat saja.
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiran yang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala (al-Ra’y al-Mahdh). Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.
Penutup
Sebagai umat muslim, layak dan pantaslah kita untuk mengetahui tentang tafsir dan persoalannya, begitu juga dengan metode-metode dalam menafsirkan al-Qur’an itus sendiri agar mudah untuk kita pahami. Semoga artikel singkat ini dapat member wawasan pengetahuan kita mengenai tafsir dan berbagai metodenya yang telah di gunakan oleh ulama dalam menafsirkan al-Qur’an***
Sarwan Kelana
Alumni Fakultas UShuluddin UIN Suska Riau dan Pengurus di MUI Riau