Keberadaan Masyarakat Adat di Kampar Masih Belum Berstatus Resmi

0
938

PEKANBARU (HPC) – Keberadaan Masyarakat Adat di Kampar hingga saat ini masih belum berstatus resmi di mata hukum. Meski sudah ada peraturan daerah yang mengatur tentang Hak Tanah Ulayat, namun hingga saat ini pembagiannya masih belum jelas. Kondisi ini pun sangat rawan terhadap konflik, khususnya terhadap masyarakat itu sendiri.

Untuk melakukan percepatan terhadap pembentukan tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Pusat dan Kampar menggelar diskusi yang menghadirkan berbagai stakeholder.

Diskusi ini membahas tentang sinergis pengakuan masyarakat dan hutan yang ada di Kabupaten Kampar. Pertemuan yang dilakukan dua hari di Ayola First Point Hotel Pekanbaru sejak Senin kemarin menghadirkan perwakilan masyarakat Adat, LSM, DPRD dan Pemerintah Kampar.

Salah seorang peserta diskusi, Suparmantono yang merupakan Datuk Khalifah Batu Sanggan di Kerajaan Rantau Kampar Kiri, Gunung Sahilan mengatakan bahwa pertemuan ini membahas tentang hak-hak masyarakat di tempatnya saat ini yang belum terpenuhi.

MENARIK DIBACA:  Malam Puncak HUT RI Ke-72 RT04/RW02 Dihadiri Puluhan Pejabat dan Tokoh Tokoh

Parmanto menjelaskan bahwa berdasarkan aturan pemerintah, masyarakatnya bukan termasuk masyarakat adat. Karena mereka disebut memiliki kepercayaan yang tidak asli lagi. Namun demikian mereka menolak hal tersebut karena mereka masih memiliki nilai-nilai adat yang sudah ada sejak Indonesia belum merdeka.

“Kita saat ini memang beragama Islam. Namun kita tetap masyarakat adat yang bahkan sebelum merdeka, nama adat tersebut sudah diberikan ke kita,” sebut Parmanto pada Selasa (5/12/2017).

Kerajaan Rantau Kampar Kiri Gunung Sahilan tersebut memiliki nilai-nilai adat yang saat ini masih terjaga. Seperti musyawarah melalui moderasi, otonomi kenegerian, hingga penerapan HAM melalui Sumpah Setia. “Kurangnya kita yakni nilai adat tersebut tidak tertulis, sehingga sulit untuk mendapatkan pengakuan,” ujarnya.

MENARIK DIBACA:  Sempena HUT Ke 57 Kejaksaan Meranti Bakhti Sosial di Pompres Bahrul Ulum

Parmanto bersama dengan masyarakat adat lainnya di Kampar dalam pertemuan tersebut berdiskusi untuk mencari jalan keluar pengakuan terhadap status mereka.

Sementara itu, Direktur Dukungan Komunitas AMAN Pusat, Annas Radin Syarif mengatakan bahwa sebenarnya ada empat skema agar masyarakat adat mendapat pengakuan.

Skema tersebut antara lain pengakuan terhadap hutan adat, pengaturan skema investasi, pengaturan Agraria dan Tata Ruang (ATR) serta hak komunal dan UU Desa.

“Untuk memenuhi skema tersebut, perlu adanya pembentukan tim inventarisasi masyarakat tersebut. Sehingga masyarakat dan wilayah adatnya dapat terdata,” kata Annas.

Annas mengatakan bahwa dalam persoalan saat ini belum banyak Pemerintah Daerah maupun DPRD yang memahami urgensi dari masyarakat adat ini. “Hal ini terjadi di hampir seluruh daerah, termasuk di Riau dan Kampar,” sebutnya.

MENARIK DIBACA:  Gerak Gerik Mencurigakan Seorang Warga Banglas Ditangkap

 

Untuk saat ini berdasarkan data AMAN Kampar, ada 200 ribu hektar kawasan yang termasuk hutan adat. 83 ribu hektar dari lahan tersebut berada di Kabupaten Kampar.

“Data kita saat ini di Kampar, ada tujuh komunitas adat dari 64 kenegerian di kabupaten tersebut. Targetnya dalam tiga bulan ini kita bisa mendorong menerbitkan peta indikatif dan masyarakat adat. Ini semua sebenarnya menjadi tugas dari Pemerintah Daerah,” ungkap Ketua AMAN Kampar, Himyul Wahyudi. (tengku)