Oleh : Irwan Effendi*
Seorang pria mengendarai sepeda motor extrail menyusuri jalan tanah di suatu sore di suatu pedesaan.Ia berbelok menyinggahi sebuah rumah dimana seorang petani tengah menunggunya disana. Sang petani menceritakan sekaligus meminta masukan tentang solusi penanggulangan gangguan hama wereng yang menyerang sawahnya. Sang petani mengajaknya pula ke belakang rumah, seraya memperlihatkan kondisi ternak sapinya yang kurang sehat belakangan ini. Di sebelah kandang sapi terdapat beberapa buah kolam yang berisi ikan Mas yang belakangan ini kurang nafsu makannya. Di pematang kolam tumbuh pula beberapa batang pohon kelapa yang belakangan ini pucuknya terserang hama kumbang. Lebih kebelakang Sang petani dengan sumringgah menunjuk belasan batang pohon jatinya yang sudah siap ditebang. Namum belum ketemu pembeli yang sesuai yang sekaligus membantu surat menyurat administrasi penjualan pohon tersebut. Pengendara sepeda motor itu mendengarkan dengan sabar dan untuk seterusnya memberi penjelasan tuntas akan hal-hal yang diminta sang petani. Sang pengendara sepeda motor itu adalah PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan).
Pembaca yang budiman, cerita di atas sudah hampir tidak pernah kita dengar lagi dewasa ini.Pemberlakuan Otonomi Daerah, pemekaran Departemen / Kementerian Pertanian menjadi beberapa Kementerian telah mengkotak-kotakan peran pembinaan usaha tanaman pangan, hewan ternak, ikan peliharaan, hasil kebun dan komaditas kehutanan.Pengkotakan ini diikuti pula tentunya oleh perkotakan bahkan penghilangan organisasi yang memayungi para PPL tersebut. Mereka akhirnya menyebar ke berbagai SOTK yang ada, sebagian mereka memasuki usia pensiun, dipromosikan ke jabatan struktural dan lain sebagainya. Namun yang jelas peran seperti cerita di atas sudah hampir tidak ada yang melakoninya lagi. Kita dihadapkan UU Nomor 23/2014 tentang Pemda yang secara substansi tidak tersambung baik dengan sistem penyelenggaraan penyuluhan yang diatur oleh UU Nomor 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K).
Sesungguhnya semangat yang diusung Undang-undang No. 23/2014 adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah bagi percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antar daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
UU No 16 Tahun 2006 secara ekplisit telah mengatur sistem, struktur dan organisasi penyelenggaraan penyuluhan sektor pertanian.Mulai dari tingkat Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, bahkan dijabarkan sampai ke level pemerintahan di Kecamatan.UU No. 23/2014 secara ekplisit tidak menyebut satu kata pun tentang penyuluhan pertanian.Undang-undang ini hanya secara implisit pada struktur organisasi dan tatalaksana kepemerintahan yang ada.Peran pengembangan pertanian masuk di dalam urusan kongkuren atau sama-sama diemban oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan kata lain peran pembangunan, pengembangan dan pembinaan tentulah tidak terlepas dari kegiatan penyuluhan.
Di media massa selalu disebutkan bahwa Sektor Pertanian merupakan sektor yang mendapat perhatian khusus dewasa ini.Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mencanangkan program swasembada padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi yang harus dicapai tahun 2017. Dalam perspektif Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, sektor ini merupakan urusan kongkuren (bersama) antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Sektor pertanian dibagi dalam tiga sub sektor; Pertanian, Perkebunan dan Peternakan dan meliputi 7 Sub Urusan: 1). Sarana Pertanian; 2).Prasarana Pertanian; 3).Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner; 4).Pengendalian dan Penanggulangan Bencana Pertanian; 5).Perizinan Usaha Pertanian; 6).Karantina Pertanian; dan 7). Urusan Varietas Tanaman. Namum perlu dicatat bahwa dua sub urusan terakhir menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah Pusat.
Sudah menjadi pengalaman di semua Negara bahwa pengembangan Sektor Pertanian, tidak akan pernah terlepas dari kegiatan penyuluhan para petani dan pelaku usaha pertanian itu. Sejarah telah mencatat masa kejayaan penyuluhan pertanian di Indonesia dalam mensukseskan program swasembada beras.Berbagai dokumentasi Badan Internasional maupun Nasional telah mencatat prestasi yang gemilang atas peran penting penyuluhan pertanian tersebut. Prestasi swasembada beras pada tahun 1984 yang dipandang merupakan catatan penting dalam sejarah pertanian di Indonesia juga tidak terlepas dari peran penyuluhan pertanian yang telah dilembagakan dengan sistematis.
Penyuluhan pertanian dimaknai sebagai kegiatan penyebarluasan informasi dan teknologi pertanian serta membimbing petani agar mampu menerapkan teknologi tersebut.Kegiatan penyuluhan merupakan bagian integral dari pembangunan sektor pertanian.Sungguhpun demikian kegiatan penyuluhan pertanian ini sering terabaikan dan bahkan mendapat perhatian kontra produktif dari Pemerintah.Dalam perjalanannya, penyuluhan pertanian telah mengalami masa keemasan dan kesuraman sejalan dengan dinamika perubahan sosial, politik dan ekonomi nasional.Ketika kebijakan nasional memberi prioritas yang tinggi pada pembangunan pertanian maka aktivitas dan peran penting penyuluhan terlihat dengan nyata.Program ini didukung dengan pembiayaan penyuluhan yang cukup besar melalui Kegiatan Pengawalan dan Pendampingan Penyuluhan SDM Pertanian.
Sejak awal tahun 1970-an Para Petugas Penyuluh dalam berbagai level di bawah Program Bimbingan Massal (BIMAS) bahu membahu memberikan bimbingan teknis (know-how) kepada petani di desa-desa untuk mempraktekkan budidaya padi terpadu yang dikenal dengan “Panca Usaha Tani”. Dengan dukungan politik dan finansial yang sangat baik, petugas penyuluh dapat menjalankan fungsinya dengan lancar.Penyuluhan diselenggarakan sangat sistematis dalam mengenjot peningkatan produktivitas padi.Sebelum Program Bimbingan Massal (BIMAS) diterapkan, petani masih menggunakan benih lokal dengan cara-cara budidaya yang tradisional dengan produktivitas padi hanya berkisar 1-2 ton/ha. Dengan penggunaan input dan sistem budidaya padi modern telah mampu meningkatkan produktivitas menjadi 2-4 ton/ha. Pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 yang dipandang merupakan catatan penting dalam sejarah pertanian di Indonesia juga tidak terlepas dari peran penyuluhan pertanian yang telah dilembagakan dengan sistematis.
Implementasi UU Otonomi Daerah berdampak pada penyelenggaraan penyuluhan pertanian menjadi tidak pasti.Sistem kelembagaan dan sistem tata kerjanya juga mengalami perubahan dengan pola yang tidak jelas. Ketika era Bimas penyuluh di lapangan yang langsung bersentuhan dengan petani memiliki home base di Balai Penyuluhan Pertanian, namun sejak tahun 1990-an secara yuridis kelembagaan penyuluhan pertanian menjadi tidak jelas bahkan banyak yang dibubarkan.
Melemahnya pembangunan pertanian dan lebih khusus lagi penyuluhan pertanian telah berdampak pada stagnasi produksi pertanian.Hal ini juga telah mendorong Pemerintah Pusat dan DPR untuk merancang undang-undang penyuluhan pertanian. Setelah melalui pembahasan panjang dan melelahkan, akhirnya pada tanggal 18 Oktober 2006 telah diundangkan UU Nomor 16/2006 tentang SP3K. Salah satu amanat UU tersebut adalah Pembentukan Kelembagaan Penyuluh pada berbagai level Administrasi Pemerintahan, selain itu Pemerintah Daerah harus berkonstribusi terhadap pendanaan kelembagaannya.
Kementerian Pertanian masih berpegangan UU Nomor 16/2006 tentang SP3K dengan argumentasi bahwa UU ini bersifat lex Specialis. Kalau kementerian ini tetap berpegangan UU Nomor 16/2006, maka perlu dilakukan revisi UU Nomor 16/2006 tentang SP3K menjadi UU tentang SP3K (Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian). Dalam UU SP3K diatur kelembagaan penyuluhan dari tingkat Pusat sampai Kecamatan.Dan dalam rangka efektivitas dan efisiensi organisasi pemerintahan, kelembagaan penyuluhan tingkat provinsi dan kabupaten/kota hendaknya digabung dengan badan/kantor ketahanan pangan.Idealnya di provinsi kelembagaan menjadi Badan Pembina Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (Bapemluh KP) dan tingkat kabupaten/kota menjadi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (Bapeluh KP).Adapun tingkat kecamatan tetap yaitu Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan (BP2K). Akan tetapi dalam prakteknya tidak mudah, interpretasi UU Otonomi Daerah yang memberi ruang besar bagi Kepala Daerah dan DPRD untuk mengatur kelembagaan daerah kadang-kadang mengabaikan dan tidak memberi ruang yang cukup atas amanat UU SP3K. Sebenarnya masih ada jalan tengah yang cukup bijak, tiga kementerian bisa duduk bersama merumuskan Peraturan Pemerintah untuk merevisi Lampiran UU Nonor 23/2014 yang substansinya mengacu UU Nomor 16/2006.
Sejalan dengan globalisasi dan pasar bebas, lebih-lebih pemberlakuan MEA (Masyarakat Ekonomi Asia) yang sudah berkembang, pola kerja penyuluhan pertanian juga telah mengalami dinamika yang cukup besar. Model pendekatan lama dimana penyuluh sebagai agen transfer teknologi dan informasi sudah tidak cukup. Tuntutan di lapangan semakin rumit dan jika penyuluh sebagai penyedia public goods tidak bisa berperan dengan baik, maka akan ditinggalkan oleh pengguna tradisionalnya. Bandingkan dengan Penyuluh Pertanian Swasta sebagai pelayan teknis Perusahaan Saprodi Nasional dan Multinasional kini telah merambah ke desa-desa dengan fasilitas penyuluhannya yang sangat memadai.
Dalam era baru pertanian, penyuluh dituntut paling tidak memiliki tiga fungsi yaitu; Transfer Teknologi (Technology Transfer), Fasilitasi (Facilitation), dan Penasehat (Advisory Work).Untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut, penyuluh pertanian hendaknya menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Tema-tema penyuluhan juga bergeser tidak sekedar peningkatan produksi, namum juga menyesuaikan dengan isu global yang lain seperti bagaimana menyiapkan petani dalam mengatasi perubahan iklim global dan perdagangan bebas. Petani perlu dikenalkan dengan sarana produksi yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap goncangan iklim, selain itu tehnik bertani yang ramah lingkungan, hemat air serta tahan terhadap cekaman suhu tinggi, nampaknya akan menjadi tema penting bagi penyuluhan pertanian masa depan. Tentu saja dalam menuju pertanian masa depan tersebut, kita harus memiliki visi yang sama terutama dengan para pembuat regulasi/peraturan perundangan sehingga ke depan kita mencapai kejayaan lagi di sektor pertanian.Indonesia, sebagai negara terbesar ke 4 dunia, tidak punya pilihan.Indonesia harus mampu memproduksi kebutuhan pangan masyarakatnya.Komaditas pangan sudah menjadi komaditas percaturan politik dunia.Untuk itu Indonesia harus berdaulat di bidang pangan. Semoga***
* Ketua Komisi Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan Provinsi Riau.