Oleh : Achyat Daroini
OPINI (HPC) – Seseorang itu dilahirkan sebagai seorang pemimpin” kita sering mendengar pernyataan seperti ini. Menurut (Joyce Meyer 2002:6) apakah pemimpin-pemimpin itu dilahirkan atau mereka dibentuk? Memang benar bahwa sebagian orang dilahirkan berlimpah dengan bakat-bakat dan kualitas-kualitas kepemimpinan.
Namun juga benar bahwa sebagian dari pemimpin-pemimpin terbaik dari kerajaan Allah adalah mereka yang dianggap dunia mungkin tidak layak bagi kepemimpinan.
Yang dibutuhkan oleh orang-orang seperti itu hanyalah seseorang yang mengenali potensi mereka dan membantu mereka untuk mengembangkannya. Sering kali mereka merupakan orang yang paling berharga dan paling efektif dalam kepemimpinan.
Masalah adalah kesenjangan antara suatu yang diharapkan dengan suatu kenyataan. Masalah pada hakikatnya tidak pernah berdiri sendiri atau terisolasi dengan faktor-faktor lainya. Dewasa ini permasalahan atau krisis kepemimpinan melanda dunia.
Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran dari goal pemimpin dan kepemimpinan yang jelas. Untuk menjadi pemimpin tidak bisa dibentuk secara instan, karakter pemimpin dibentuk melalui proses yang panjang dan teladan dari tokoh.
Tantangan terbesar saat ini untuk membentuk karakter pemimpin adalah pergeseran budaya dan perkembanagn teknologi. Pergeseran budaya yang dimaksud adalah etika, moral, akhlak yang dulu diagungkan-agungkan sekarang hanya sebatas narasi tanpa makna.
Etika, moral atau akhlak sebagaimana telah dibicarakan, adalah berusaha mencari kebaikan sesuai dengan nilai-nilai luhur agama, adat istiadat, atau bahkan lahir dari kata hati yang suci dan nurani yang jujur.
Hal ini akan menimbulkan etika yang menjadikan kita seorang moralis (budiman) karena dapat membedakan antara mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk (Dr. H. Inu kencana Syafiie, 2011: 3).
Untuk memperbaiki kepincangan di atas, jelaslah kaum muslimin harus mampu dan berani mengadakan koreksi atas moralitas yang mereka hayati selama ini. Mereka tidak boleh bersikap masa bodoh terhadap kerusakan berat yang ditimbulkan dalam sikap dan pandangan hidup mereka oleh moralitas ganda yang ada.
Membiarkan terjadinya korupsi besar-besaran dengan menyibukkan diri dengan ritus-ritus hanyalah akan berarti membiarkan berlangsungnya proses pemiskinan bangsa yang semakin melaju.
Sikap pura-pura tidak tahu menahu tentang upaya menegakkan hak-hak asasi manusia, untuk dicukupkan besantai-santai dengan manifestasi keagamaan yang bersifat lahiriyah belaka, tidak lain hanya berarti semakin tertundanya proses perataan kemakmuran (Abdurrahman Wahid, 1999: 73).
Bagaimana seorang pemimpin menghadapi masalah-masalah yang ada di Indonesia sekarang ini diantaranya; pendidikan, sosial masyarakat, kultur budaya, dan KKN yang belum selesai sampai detik ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat judul “peran pendidikan sebagai genealogi pemimpin Indonesia yang bermoral dan problem solving”.
a. Pemimpin Ideal (bermoral)
Manusia adalah makhluk sosial yang menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan orang lain. Menjadi pemimpin berarti menjadi seseorang yang memiliki tanggung jawab lebih dalam hidup.
Sejak reformasi bergulir tahun 1998 yang lalu hingga kini, berita tentang korupsi makin gencar. Berbagai harian surat kabar di Indonesia hampir tiap hari memberitakan peristiwa korupsi.
Sebagai fondasi pembahasan tentang pemimpin dan kepemimpianan menurut islam sebagai berikut: firman Allah SWT kepada malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
Mereka berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”Tuhan berfirman:”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(QS. Al-Baqarah (2): 30).
Fitrah dari manusia salah satunya adalah menjadi khalifah dimuka bumi atau pemimpin dibumi sebagai wakil Allah SWT. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa manusia memiliki potensi menjadi kholifah atau pemimpin. Potensi tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan dengan maksimal.
Belajar dari lingkungan sekitar dapat menstimulasi potensi memimpin dengan catatan perlu ada evaluasi untuk membentuk pemimpin yang ideal.
Setiap kepemimpinan, yang efektif harus memperhitungkan basis masyarakat apabila tidak menghendaki timbulnya ketegangan-ketegangan atau terhindar dari pemerintahan boneka.
Dengan demikian, moralitas yang harus ditumbuhkan haruslah memiliki watak utama yang berupa keterlibatan kepada perjuangan. Menurut Brownlee etika dapat diartikan sebagai suatu sikap kesedian jiwa seseorang untuk senantiasa taat dan patuh kepada seperangkat peraturan-peraturan kesusilaan. Kebanyakan orang merasa bahwa norma-norma dan hukum-hukum mempunyai peranan yang besar dalam bidang etika”.
Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori.
Pada hakikatnya setiap manusia adalah pemimpin, pemimpin dalam skala yang kecil sampai skala yang besar.
Setidaknya seseorang haruslah menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Sedangkan sifat yang harus dimikili pemimpin Islam adalah iman dan tauhid, ketaatan, kebersihan hati, dan penunjukkan sebagai khalifah di bumi. Sebagai seorang pemimpin, Iman merupakan fondasi yang paling utama.
Dalam arti luas pemimpin sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja dan lain sebagainya. Sedangkan istilah memimpin digunakan dalam konteks dengan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Pemimpin adalah seorang yang mampu menginspirasi orang lain dan menjadi tauladan bagi yang lainnya untuk mencapai suatu tujuan. Pemimpin adalah suatu subjek yang mana bisa mempengaruhi orang-orang disekitarnya.
Seorang pemimpin adalah seseorang yang unik, dia mampu mengatur, mengarahkan serta membawa orang-orang disekelilingnya untuk mengikutinya. Hal ini tidak bisa diwariskan namun dapat dilatih melalui kegiatan di lembaga formal maupun
non formal.
Dari pengertian diatas dapat disimpulakan indikator pemimpin ideal ialah memiliki karakter penggerak perubahan, memiliki kecakapan interpersonal, adversity (daya juang) yang kuat dan bisa survive dalam situasi manapun.
Kita sebagai insan akademis (orang berpendidikan) harus berperan aktif untuk mengubah keadaan agar lebih baik. Kita tahu bahwa sebuah pendidikan merupakan wadah, tempat aktualisasi sifat, sikap dan perilaku kader dalam mempercepat proses diri, bukan hanya secara intelektual, keterlibatannya secara fisik dan moral dibutuhkan.
b. Pemimpin Problem Solving
Seorang pemimpin adalah individu dengan jiwa yang terlatih dan mampu melatih individu-individu lain untuk mewujudkan visi yang bersifat seragam.
Seorang pemimpin diharuskan mampu melibatkan diri dalam unsur keberagaman sifat anggota yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang mampu membawa misi kelompoknya ke arah yang baik dan tetap teguh merangkul semua anggota kelompok.
Indonesia bukanlah negara teokratis bukan pula negara sekuler ia adalah negara yang berlandaskan Pancasila. Ungkapan itu, meskipun membingungkan bagi kebanyakan orang, selalu diulang-ulang oleh para pejabat kita, dan sangat ditekankan oleh presiden Soeharto sendiri.
Mengatakan bahwa negara ini bukanlah negara sekuler bukan pula negara teokratis atau negara agamis, bagi mereka yang tidak memahami problem ideologis bangsa ini, akan terdengar absurd (Nurcholis Madjid, 3: 2010).
Namun pada kenyataannya, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi negara mereka.
Kehadiran manusia di muka bumi ini untuk mengemban misi kekhalifahannya. Yakni, sebagai pelaksana syari’at Allah di muka bumi; serta menata bumi dan isinya untuk kemakmuran manusia (M. Nurhakim, 37: 2000).
Menjadi seorang pemimpin tidak akan pernah semudah menentukan kriteria pemimpin ideal. Semua orang bisa menuliskannya untuk dirinya sendiri, memperbaiki diri, dan bertekad menjadi pemimpin ideal agar bangsa yang lebih baik daapat tercipta sedikit demi sedikit.
Berikut bekal sebagai pemimpin sebagai problem solving Pertama, pengetauhan atau potensi untuk berpengetauhan. Kedua, sifat ke-manusiaan baik dan buruk yang dengan kedua sifat ini, manusia dapat mengaktualisasikan fitrahnya sebagai makhluk berakal dan berkehendak.
Tetapi, patut dicatat dalam hal ini Tuhan menggariskan manusia harus mengedepankan sifat baiknya. Bekal ketiga berupa petunjuk (huda) yang dalam bentuk akhirnya disebut agama. Siapa yang mengikuti petunjuk Allah ini dijamin selamat, dan barang siapa yang mengingkarinya akan celaka (M. Nurhakim, 37: 2000).
Manusia mengemban amanah untuk merealisasikan fungsi kekhalifahan tujuannya ialah untuk membangun peradaban yang mensejahterakan manusia.
Untuk membangun bangsa dan negara manusia membutuhkan kebebasan dan kemerdekaan dalam pola berfikir sehingga tidak ada rasa takut ataupun ketergantunggan kepada makhluk. Sadar atau tidak, kita sedang berjalan menuju generasi yang banyak menuntut pada orang lain tanpa mengintropeksi diri sendiri.
Perubahan pandangan masyarakat yang demikian tadi, dapat memberikan dampak positif, apabila disertai dengan kaearifan diri, dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang madlarat, mana yang maslahah dan mana yang mafsadah, mana yang harus dipakai dan mana yang harus dibuang.
Tapi juga dapat memberikan dampak negatif jika masyarakat mengalami erosi nilai atau kelongsoran nilai sehingga segala yang tertanam pada runtuh, sedang nilai-nilai baru yang menjadi penggantinya belum siap atau belum jelas peranannya, mereka bersifat semu dan kelabu tidak jelas warna dan garis hidupnya (Muhammad Tholhah Hasan, 15: 2005).
Kondisi demikian umumnya dialami oleh masyarakat yang sedang dalam transisi, dari masyarakat organis ke masyarakat mekanis, seperti masayarakat kita sekarang.
Memang berkat kemajuan teknologi dan ilmu pengetauhan, maka manusia bangkit membebaskan diri dari tekanan berat dari alam yang menganggunya, akan tetapi secara sistematis mulai dia tergantung pada hasil ciptaanya dan organisasinya sendiri.
Dominasi alam sudah dilepaskan, tetapi teknologi dan birokrasi dengan kekuatannya yang dahsyat itu bangkit untuk menguasai manusia yang menjadi tergantug lemah.
Manusia tidak lagi merupakan subyek yang mandiri, tetapi mengalami detotalisasi dan bahkan dehumanisasi yang sering dicetuskan oleh para pemikir eksistensialis (Muhammad Tholhah Hasan, 86: 2005).
Pemimpin yang ideal mempunyai perasaan untuk selalu berguna bagi orang lain dan mampu mengarahkan kepada setiap orang yang bertemu dengannya untuk mengikuti sarannya.
Kesimpulan
Kepemimpinan adalah kemampuan memperoleh konsensus dan ketertarikan pada sasaran bersama, melampaui syarat-syarat organisasi, yang dicapai dengan pengalaman sumbangan dan kepuasan di kelompok kerja adalah Pemimpin adalah seseorang yang mampu menginspirasi orang lain dan menjadi tauladan bagi yang lainnya untuk mencapai suatu tujuan.
Pemimpin adalah suatu subjek yang mana bisa mempengaruhi orang-orang disekitarnya. Sedangkan sifat yang harus dimikili pemimpin Islam adalah iman dan tauhid, ketaatan, kebersihan hati, dan penunjukkan sebagai khalifah di bumi. Sebagai seorang pemimpin yang Islam maka Iman merupakan fondasi yang paling utama.
Organisasi merupakan kumpulan dari orang-orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan, yang mana untuk mencapai tujuan tersebut memerlukan manajemen untuk mengatur orang-orang tersebut, yang mana manajemen tidak akan berhasil apabila tidak ada pemimpin di dalamnya dan seorang pemimpin pun harus memiliki ilmu kepemimpinan dan problem solving.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan kriteria pemimpin dalam 4 point. Yaitu: Sidiq (jujur),Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan), dan Fathonah (cerdas).
Oleh : Achyat Daroini
– Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Ponorogo
– Ketua Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda (PTKP) Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Al Farabi Cabang Ponorogo